SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

09 November 2007

PAPUA KRISIS PEMIMPIN

Praktis sudah, tidak ada pemimpin Papua yang disegani saat ini, baik oleh pihak penjajah maupun rakyat terjajah (baca : Papua Barat). Pasca martirnya Pemimpin Besar revolusioner, Theys Hiyo Eluay, perjuangan Papua total mati ditempat tanpa perlawanan yang significant. Idealisme Papua tanpa pemimpin yang refresentatif, sekapasitas, Theys H Eluay, perjuangan gerakan Papua Merdeka ibarat hidup segan mati tak mau. Perjuangan Papua berjalan ditempat. Pasca Otsus Papua, yang di terima PDP, walau dengan syarat, konon katanya, para pentolannya (para pemimpin PDP), lebih banya sibuk bicara proyek daripada memperjuangan idealisme Papua Merdeka.

Dewasa ini tidak ada sosok pemimpin yang refresentatip, ditambah lagi banyak pemimpin yang tadinya ada di PDP (peredeium Dewan Papua), sudah bubar dan memasuki berbagai lembaga buatan pemerintahan boneka (penjajah NKRI). Para pentolan PDP lebih disibukkan dengan pekerjaan baru mereka, di berbagai jenjang pekerjaan dan jabatan dalam Otsus Papua yang di tawarkan pihak kolonialis. Mereka sudah tidak banyak bicara idealisme Papua Merdeka, tapi lebih sibuk urus proyek menjadi pejabat ini dan itu, dalam tawaran soslusi yang ditawarkan kolonialis Indonesia sebagai senjata ampuh kolonialis, untuk mematikan idealisme Papua merdeka berdaulat penuh sebagai sebauah bangsa dan negara.

Hal ini disebabkan oleh tiadanya kepemimpinan yang kuat dalam tubuh gerakan perjuangan untuk menentukan nasib dan masa depan nasib rakyat Papua Barat yang bermartabat dan berdaulat penuh sebagai sebuah bangsa. Kepemimpinan yang diharapakan, adalah seseorang yang dengan berani menentang dan menyatakan tidak pada semua hegemoni kapitalisme dan kolonialis Indonesia dengan konsep NKRI-nya, saat ini sudah tidak kelihatan. Pemimpin adalah seseorang yang dengan berani menentang pendudukan Indonesia di Papua Barat, untuk membela kepentingan bangsa dan rakyat Papua Barat. Kepemimpinan demikian diharapkan muncul dari lembaga PDP, malah para pentolannya, bubar berpencar menduduki diberbagai lembaga buatan kolonialis.

Walau ada pengganti Teys Hiyo Eluay di PDP, yang lebih banyak berbicara, hanya sekjennya saja (Thaha Al Hamid), dari pada ketuanya yang duduk manis sebagai direksi PT Freeport dengan gaji besar dan uang melimpah, membuat para pemimpin semakin dininabobokan saja, untuk memperjuangkan nasib dan harkat dan martabat bangsanya yang terbelakang oleh akibat penjajahan berkelanjutan kolonialisme Indonesia dan Kapitalisme Amerika yang terus menghegemoni masa depan nasib bangsa Papua Barat berdaulat, semakin tidak jelas arah dan tujuannya.

Kelemahan dalam perjuangan yang kita hadapi berhadapan dengan penjajah Indonesia dan kekalahan demi kekalahan telah banyak menuai rakyat Papua Barat, praktis tanpa perlawanan dan manuver politik oleh pemimpin kecuali hanya letupan sedikit-sedikit yang dimainkan Thaha Al-Hamid, tidak berarti kecuali hanya melahirkan beberapa penyakit masyarakat, seperti wacana pemekaran Irian Jaya Selatan dan pengucurana dana Otsus oleh pemerintah sebagai senjata paling ampuh bagi kolonialis, untuk melemahkan para pemimpin Papua Barat adalah lagu lama Indonesia yang kita tahu bersama dimainkan Jakarta, yang tidak disadari para pemimpin Papua bersama rakyatnya.

Sejak Otsus diterima dengan syarat (oleh PDP), adalah awal kekalahan diplomasi para pemimpin Papua terutama PDP berhadapan dengan kolonialisme Indonesia. Dan penerimaan Otsus Papua, dengan syarat oleh PDP, adalah kekalahan total perjuangan di pihak pejuang Papua Merdeka. Selanjutnya, Jakarta semakin merambah, diantaranya dengan mengucurkan uang pinjaman luar negeri membuat para Pemimpin (pejabat) semakin menibobokan saja tanpa menyadari bahwa kekayaan alam Papua semakin terkuras. Bahkan issu peluncuran satelit di Biak Papua Barat adalah contoh lain bahwa kita dan para pejuang Papua total kalah bertekuk lutut dikaki SBY-JK (kolonialis), tanpa bergaining dihadapan Internasional.

Sebagai akibatnya pihak kolopnialis, pelan tapi pasti, membiarkan begitu saja, tanpa ada kepedualian, Penyebaran penyakit mematikan HIV/AIDS yang akan menyebakan ledakan kematian penduduk Ras Melanesia di abad 21 ini, sebagai pembunuhan massal tanpa senjata, ditambah lagi saat ini ada issu makanan / minuman bercun belum lagi habis. Penjajah Indonesia membuat pergeseran issu baru, semakin memperrumit saja, dan menguras pikiran, mana yang mau dipilih lebih dahulu mengatasinya, apakah menolak yang ini atau yang itu, untuk mengatasinya, adalah masalah lain yang harus dihadapi, kalau akibatnya Ostsus papua diterima PDP.

Pemekaran Irjabar belum selesai, muncul issu pemekaran Ijateng, Irjasel, illegal logging (pencurian kayu, yang diberi izin oleh Indonesia sendiri), pencurian ikan, Gas alam di Bintuni, penjajah Indonesia membuat issu baru peluncuran saltelit di Biak adalah pengalihan issu penyebaran makanan dan minuman beracun sebagai proyek pembunuhan oleh militer Indonesia (TNI/POLRI)secara sitematis tanpa menggunakan senjata sangat kelihatan dimainkan oleh Jakarta. Indonesia tidak merasa bertanggunggung jawab dan hal ini kelihatan bahwa Menteri Kesehatan tidak perduli akan banyak kematian rakyat Papua Barat yang tidak berdosa oleh penyakit HIV/AIDS dan makanan/minuman beracun secara sis-sia dewasa ini.

Mengapa hal ini semua dibiarkan oleh Indonesia dan para pemimpinnya? Menteri Kesehatan Fadhilah Supari membiarkan dan tidak peduli dengan Rakyat Papua Barat mati terinveksi HIV/AIDS dan makanan/minuman beracun? Mengapa masalah Otsus belum beres dan dilaksanakan secara konsisten, rakyat Papua Barat diperhadapakan lagi dengan soal pemekaran Irja Selatan, kemudian kini dengan peluncuran satelit di Pulau Biak Papua Barat?

Semua pertanyaan ini jawabannya hanya satu, Papua saat ini krisis Pemimpin sekelas, Oskup Bello, Nelson Mandela, Uskup Tutu, Xanan Gusmao, Soekarno, Cut Nyak Din, Malcom X, Martin Luther King Jr, Ayatullah Imam Khumaini, Mahatma Ghandy, Theys Hiyo Eluay, yang berani menolak dan menyatakan tidak pada penjajah Indonesia. Papua saat ini belum memiliki seorang pemimpin legitimid dan kuat yang revolusioner. Sebagai akibatnya yang berarti adalah akibat langsung stagnasi gerakan perjuangan saat ini menjadi masuk akal kalau kemudian perjuangan disatu pihak dan pembunuhan rakyat Papua secara sistematis berjalan tidak ada perlawanan secara massal dilakukan di Papua Barat saat ini.

Kalau begitu harus bagaimana untuk mengatasi ini? Dialog Nasional, Indonesia takut, referendum apalagi paling ditakuti Jakarta. Semua tidak dizinkan atau dilarang Indonesia, kongres ke sekian kali OPM/PDP juga dilarang Indonesia. Kalau begitu harus bagaimana? Saya juga tidak tahu, harus bagaimana, tapi masalah kita, masalah Papua Barat, saat ini adalah krisis kepemimpinan alias tidak ada pemimpin refresentatif (diakui digunung dan dipesisir/pulau) sebagai seorang pemimpin nasional Papua untuk meyatukan semua umat/rakyat Papua yang pluralistik. Membuat takut penjajah Indonesia dihadapan Internasional akan penjajahannya di Tanah Papua Barat.

Tidak ada komentar: