Aceh dan Papua berbeda dari konflik-konflik di Indonesia misalnya kasus
GAM di Aceh dan TPN/OPM di Papua sebagai suatu gerakan separisme sudah lama ada, malah lebih dini pra proklamasi kemerdekaan
Konflik berdarah ini pada akhirnya, ibarat benang kusut, sulit di selesaikan. Mungkin Aceh ada harapan penyelesaian dan itu dirasakan rakyat disana saat ini. Bagaimana dengan Papua? Tulisan ini mencoba mengupas persoalan konflik di Papua sambil menyinggung Aceh, dan bagaimana komitmen penyelesaiannya dalam, kampanye oleh para Capres-Cawapres RI 2009 ini, sehingga di kemudian hari konflik seperatisme disana diselesaikan secara menyeluruh
Komitmen Capres-Cawapres Penyelesaian Konflik
Sejak jadwal kampanye ditetapkan oleh KPU, maka Capres-Cawapres Indonesia 2009 mulai mengobral janji-janji sebagai layaknya kampanye. Tapi dari semua Capres-Cawapres, hanya Yusuf Kalla datang bicara dengan rakyat Aceh. Lainnya belum kelihatan punya komitmen bagaimana menyelesaikan konflik separatisme dikedua wilayah itu. Malah menurut hemat saya tidak ada satupun Capres-Cawapres yang menjanjikan penyelesaian konflik secara konkrit, baik di Aceh apalagi Papua secara menyeluruh.
Capres dari Golkar, Yusuf Kalla, mengawali kampanyenya datang ke Aceh dan berbicara secara blak-blakan
Demikian sama konflik berdimensi horizontal di Poso, Ambon, Sambas,
Apakah karena memang mereka terlibat atas konflik-konflik semasa aktif di militer masa lalu? Wallahu’alam. Pastinya belum ada lain selain Yusuf Kalla yang datang ke Aceh dan bicara terus-terang dia terlibat aktif. JK mengakui dirinya punya peran besar dalam penyelesaian
Capres-Cawapres lain seperti Mega-Pro, SBY-Budiono dan Wiranto, sejauh belum tahu nampak komitmennya, bagaimana penyelesaian konflik menyeluruh mau diwujudkan di Aceh dan utamanya di Papua Barat. Mereka belum bicara soal ini dalam kampanyenya. Bagaimana kalau mereka terpilih menjadi Presiden-Wakil Presiden Republik
Bahkan sebahagian masyarakat korban di kedua wilayah ini menganggap bahwa semua Capres-Cawapres 2009 ini punya peran dimasa lalu sebagai problem maker, di kedua wilayah konflik itu. Mereka semua tidak punya potensi sebagai problem solving sehingga secara cakap dan sanggup menyelesaikan dendam konflik yang sudah mendarah daging. Sebab baik secara social, ekonomi terutama budaya, seperti Papua agak lain dari kesanggupan semua Capres-Cawapres RI 2009 ini. Mungkin di Aceh Yusuf Kalla sanggup untuk sementara, tapi sanggupkah dia menyelesaikan kasus sama di Papua? Apakah mereka semua sanggup? Wallahu’alam.!
Sejauh ini dalam beberapa kesempatan kampanye didepan umum semua Capres-Cawapres belum ada yang menjanjikan, apalagi secara sanggup mampu membenarkan asumsi pesimisme kita bahwa siapapun presidennya soal Papua harus dihadapi secara hati-hati karena agak lebih gawat. Solusinya sebaiknya para Capres-Cawapres punya komitmen baru dan lain misalnya dengan kuota menteri lebih dari sebelum ini sebagaimana jatah sama dengan Aceh. Dan ini mampu meredam bukan menyelesaikan konflik.
B. OPM : Otsus Bukan Solusi
Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara
Bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Malah Otsus dianggap illegal/tidak sah oleh TPN/OPM. Sebab tidak ada ijab-qobul dalam akad perjanjian kedua belah pihak bertikai. Serah terima akad Otsus Papua bukan dengan TPN/OPM di rimba raya sebagai gerakan resmi separatisme Papua. Hasil yang didapatkan berbeda dari yang diduga atau malah yang diinginkan pihak yang berkompromi.
Sebelum ini hanya PDP menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak
Akibatnya TPN/OPM selama ini dan nanti tetap akan eksis di rimba raya Papua. Letupan-letupan secara sporadic selalu akan ada dalam aktivitas gerilya dan itu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah. Oleh sebab itu
Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas secara sebenarnya, sebagaimana Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi. Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat
C. Solusi Konflik Papua
- Pemberian kuota 3 Menteri maksimal dan minimal 2 jabatan kementerian satu Departemen
- Membentuk komisi rekonsialisasi dan kebenaran seperti di Afrika Selatan untuk penyelesaian kasus pelanggaran Ham di Papua secara menyeluruh
- Melakasanakan Ostsus secara konsisten
- Akhirnya kebijakan Gus-Dur dirasakan lebih diterima Papua dari kenyataan sekarang
- Keberpihakan pada rakyat asli Papua adalah suatu komitmen sehingga Otsus benar-benar bermakna.
- Dialog harus dilakukan pada tiga tahap (local, nasional, internasional)
Papua Barat, sejak integrasi- (kata orang Papua, aneksasi paksa, karena PEPERA tahun 1962 tanpa mekanisme, one man one vote).-dengan Indonesia tahun 1962 dan resmi di PBB tahun 1969, maka sepanjang itupula banyak korban baik dari rakyat sipil yang dicurigai sebagai pembangkang NKRI. Sepanjang integrasi Papua senantiasa tanpa damai, walaupun selalu dikatakan “Papua Zona Damai”. Malahan konflik terus-menerus secara berkala antara TPN/OPM-TNI/ POLRI.
Karena itu harus ada komitmen dari Capres-Cawapres RI bentuk konkrit solusi penyelesaian kasus Papua seperti apa. Karena sejauh yang sudah berjalan sebelum ini belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya melahirkan korban di pihak rakyat Papua, baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.
Aceh pulih secara berangsur pasca perjanjian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar