A. Konflik Papua
Eskalasi separatisme akhir-akhir ini cukup tinggi terjadi di Papua.Hal itu terjadi sepanjang era Otsus yang seharusnya mencegah karena dengan limpahan trilyunan rupiah yang dikucurkan pemerintah Pusat, guna percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat mampu meredam anasir separatisme. Namun semua ini seakan tidak mempan, bahkan sama sekali tidak sanggup meredam keinginan aspirasi merdeka (“M”) rakyat Papua. Terbukti diera Otsus dengan limpahan dana sekian banyak belum mampu meredam aksi separatisme.
Bahkan sebelum, menjelang dan sesudah pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pilpres tahun 2009, serangkaian aksi separatisme tetap, malah semakin tinggi eskalasinya terjadi disana. Perhatian kita pada akhirnya tersita menjadi dua antara menunggu hasil pengumuman pemenang Pilpres tahun 2009 oleh KPU dengan harapan terwujudnya pemerintahan yang demokratis disatu sisi dan pelanggarahan HAM disisi lain. Lantas bagaimana format ideal penyelesaian konflik separatisme Papua secara menyeluruh?
Sanngupkan pemerintahan SBY-Budiono, sebagaimana hasil quick count yang menempatkan mereka sebagai pemenang Pemilu 2009 yang terpilih secara langsung jujur adil dan demokratis akan sanggup meredam konflik berkepanjangan di Papua? Ataukah Pemerintahan SBY-Budiono tetap mempertahankan kebijakan seperti masa pemerintahan SBY-JK? Jika kebijakannya tetap sebagaimana sebelumnya seperti SBY-JK, maka aksi-aksi TPN/OPM eskalisinya akan lebih dasyat. Kemungkinan eskalasi resistensi masyarakat akan lebih besar dan tinggi. Berarti kita akan melihat serangkaian aksi lebih intens dan dasyat tapi juga terorganisir oleh anak-anak muda Papua, melampaui aksi saat ini. Serangkaian aksi pembunuhan misterius secara sadis pada malam tanggal 8 April 2009 Wamena menunjukkan ini, dan dilakukan satu hari sebelum pencoblosan -diduga keras dilakukan oleh kelompok garis keras dari sayap militer TPN/OPM.
Demikian juga serangkaian aksi secara berturut-turut menjelang Pemilu 2009 terjadi di ibukota Propinsi Papua. Misalnya pembakaran Kampus Uncen, penyerangan OPM di Kampung Slayar di AB Pante, insiden di Punjak Jaya, Bandar Udara Perintis Kasepo Memberamo dan sejumlah kasus sama tempat lain di Papua. Dan dalam minggu ini menjadi semakin gempar karena korban penembakan berwarga negara asing (Austaralia). Lalu selang sehari sudah terjadi lagi
Intinya bahwa Otsus dengan banyak kucuran dan trilyunan rupiah tidak sanggup meredam konflik separatisme di Papua. Apalagi sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 baik Pemilu Legislatif (PILEG) maupun Pemilu PILPRES Indonesia adalah saat paling aktif dirasakan bahwa tensi dan intentitas kegiatan separatisme Papua oleh TPN/OPM tinggi bahkan sampai saat masih terus berlangsung tanpa kita tahu kapan bisa berakhir.
Sejak Otsus diterima dengan syarat oleh Presedium Dewan Papua (PDP), maka banyak orang menduga bahwa persoalan Papua akan selesai dan separatisme bisa diredam. Tapi orang lupa bahwa seni dan budaya adalah menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan manusia, dan itu bisa dimengerti oleh Presiden Gus-Dur yang tidak di pahami Presiden Megawati Soekarno Putri, apalagi lebih tidak dimengerti oleh aparat militer Indonesia di Papua. Dan memang ada sesuatu yang benar, jadi baik, dari Gus-Dur dianggap salah oleh Mega sehingga kelihatan kurang cerdas dan itu berlanjut masa pemerintahan SBY-JK terus dibiarkan, misalnya MRP di Pasung, simbol-simbol cultural yang di zaman Gus-Dur di bolehkan orang Papua memaikainya di zaman SBY-JK di anggap subversip sehingga ada pasal-pasal karet hukum terorisme, siap membungkam atau dengan alasan terorisme kapan saja aparat militer menangkap, menyiksa bahkan boleh memukul orang Papua sampai mati di penjara.
Demikian ketua PDP, Dortheys Hiyo Eluay, mengalami nasib buruk martir ditangan aparat militer Maribuana Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura Papua dan sopirnya sampai hari ini belum pernah diketahui ada dimana, hilang begitu saja tanpa jejak dan pesan kalau dimakamkan dimana dan oleh siapa kita semua tidak pernah tahu adalah warisan Presiden Megawati buruk bagi orang Papua. Tapi hal demikian dibiarkan terjadi sepanjang pemerintahan SBY-JK. Dan itu banyak dialami mahasiswa dan tokoh-tokoh HAM Papua. Demikian ini terus menyisakan luka mendalam bagi beberapa kalangan rakyat Papua.
Kebijakan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selain Gus-Dur, semuanya terkesan punya orientasi mengekang kebebasan ekspresi seni dan budaya orang Papua bahkan ada dugaan kuat yang sering dikemukakan kalangan intelektual Papua misalnya Pendeta Dr. Socrates Sofyan Nyoman, Dr. Phil Erari dan Dr. Benny Giay soal issu genosida. Mereka sering menyinggung bahwa ada upaya secara sistematis
B. Otsus Papua
Harapan semua orang dengan Otsus Papua konflik bisa selesai, minimal menimalisir potensi-potensi konflik separatisme disana sebagaimana penyelesaian konflik sama di Nagri Aceh Darussalam (NAD). Demikian juga harapannya dengan Papua bahwa dengan Otsus, maka konflik separatisme sudah selesai dan bisa diselesaaikan hanya dengan mengucurkan banyak uang didaerah paling ujung Timur Indonesia itu, ternyata meleset, malah sebaliknya, intentitas kegiatan separatisme cukup tinggi dirasakan sepanjang pelaksanaan Pemilu tahun 2009 ini.
Otsus Papua dituangkan dalam UU No 21/2001, yang merupakan hasil proses pembahasan yang panjang di DPR, dan disepakati pemerintah. Namun sejumlah kalangan tidak percaya Otsus Papua dan itu terutama kalangan intelektual Papua yang berada di universitas. Apalagi bagi TPN/OPM di rimba raya Papua, Otsus Papua sama sekali tidak dianggap sebagai solusi. Jargon TPN/OPM sudah jelas, bagi mereka Papua Merdeka harga mati sebagaimana NKRI harga mati bagi TNI/POLRI. Dan harus diingat bahwa TPN/OPM di rimba raya tidak pernah dilibatkan dalam penerimaan Otsus Papua oleh pemerintah Pusat.
Sebelum ini hanya PDP saja yang menerima Otsus Papua tapi dengan dengan syarat, pelurusan sejarah dan tawaran dialog, yang kesemuanya itu tidak pernah ditaati pemerintah pusat.Karena itu wajar akibat kemudian sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak percaya Otsus Papua. Mereka minta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak
Semua aksi-aksi secara sporadis tapi terorganisir oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang dialirkan oleh pusat kesana, terbukti Otsus Papua memang bukan solusi.
D. Akar Masalah
Papua Barat (sebelumnya, Irian Jaya), diintegrasikan dengan
Namun proses waktu dan pergantian
Namun pasca kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 dan bergulirnya era reformasi, seiring pula dengan adanya jaminan kebebasan berbicara, maka rakyat Papua yang dibungkam lama mulai buka mulut dan berbicara menuntut memisahkan diri dari Indonesia, diawali dengan dialog 100 tokoh Papua dengan Presiden BJ. Habibi pada tanggl 26 Februari 1999 dan puncaknya Kongres Papua ke II, yang didanai 1 Milyar oleh Presiden Gus-Dur sendiri. Kongres ini diadakan di Jayapura, tgl. 29 Mei s/d 4 Juni 2000, dan dihadiri ribuan orang diantaranya 501 peserta yang mempunyai hak suara. Kongres meminta perhatian atas empat kenyataan de facto:
1. bahwa pada tahun 1961 Bangsa Papua sudah diberikan kedaulatan;
2. bahwa Bangsa Papua tidak terwakili sewaktu New York Agreement ditetapkan pada tahun 1962;
3. bahwa Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969 bercacat hukum dan dilaksanakan disertai intimidasi dan penindasan;
4. bahwa ada sejarah pelanggaran HAM selama 38 tahun terakhir ini yang tidak pernah ditangani secara hukum.
dan itu mulai terkuak belakangan bahwa kenyataannya memang persoalan Papua tidak habis selesai sampai disitu, seperti bahasa pejabat sebelum ini dengan mengatakan: “Papua telah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi (
Namun kenyataannya sekarang bahwa diera Otonomi khusus dengan banyak uang mengalir ke Papua belum mampu meredam keinginan rakyat Papua mau merdeka. Sdan saat ini kita menyaksikan bahwa persoalan Papua belum selesai, sebagaimana dugaan dan harapan semua orang. Mengapa itu bisa terjadi? Karena proses integrasi Papua kedalam NKRI penuh rekayasa kepentingan Amerika dan
Karena itu solusi penyelesaian kasus Papua belum pernah sanggup ditemukan titik temunya oleh kedua bela pihak berkonflik. Dari sinilah pada mulanya konflik terus berkepanjangan yang berketerusan sehingga melahirkan banyak korban di pihak rakyat Papua. Banyak pemuka Papua merasa, dan itu akhir-akhir ini, ada upaya lain Indonesia (mungkin lebih tepat mereka maksudkan Militer Indonesia) proses genosida (punahisasi) etnis Papua baik itu secara terselubung (HIV/AIDS, melalui alcohol, KB, Otsus Papua dll) maupun konfrontasi bersenjata secara berhadap-hadapan antara rakyat yang mempersenjatai diri dengan senjata tradisional dengan senjata organic di pihak militer Indonesia.(Lihat misalnya buku yang ditulis oleh Sendius Wonda, Tenggelamnya Ras Melanesia, Penerbit : Deiyei, Jogja, 2008)
Tidak demikian dengan Papua, konflik TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM dilain pihak secara berhadap-hadapan adalah konflik paling primer sesungguhnya, dari semua rangkaian konflik sekunder lainnya yang ada di Papua Barat dan Aceh। Dan konflik seperti ini untuk Papua seakan kekal abadi, tanpa pernah ada usainya. Sebab selalu saja ada dan itu terus menerus akan ada walau ada Otsus Papua, tidak sebagaimana Nagri Aceh Darussalam (NAD). Aceh sejak perjanjian Helsinky, Swiss, Eropa, para tokoh GAM bisa menerima hasil kesepakatan damai. Dan genjatan senjata kedua bela pihak menunjukkan eskalasi konflik secara drastis menurun disana.
Hal demikian seakan sama sekali tidak pernah bisa tercipta di Papua. Disini kita tidak menemukan adanya perdamaian di meja perundingan antara rakyat Papua dan
Padahal yang harus diajak berkompromi itu bukan dengan Pemda dan juga bukan dengan kelompok separatis buatan TNI/POLRI di kota tapi seharusnya dengan TPN/OPM। Sebab yang bertikai secara militer di Papua dengan TNI/POLRI bukan dengan Pemda atau PDP dan DAP dan LSM sejenisnya. Tapi anehnya selama ini perundingan elit Papua-Jakarta tidak pernah melibatkan kelompok ini.
Karena itu wajar akibatnya konflik tertus-menerus. Dan itu terbukti di era Otsus yang pada mulanya diduga dapat meredam potensi konflik separatis, nyatanya itu semua terbantahkan oleh aksi-aksi separatisme yang dilakukan oleh rakyat Papua dan itu puncaknya, pemalangan lapangan terbang di Mamberamo raya, pembunuhan misterius di kota Wamena, pembakaran Kampus Uncen, penyerangan Pos Militer di Punjak Jaya, penyerangan rumah Bupati Tolikara, penyerangan Polsek Abepura, penyerangan kampong Slayer Abe Pantai dll.
Eskalasi separatisme di Papua cukup tinggi dengan serangkaian aksi-aksi secara sporadis oleh TPN/OPM akhir-akhir ini menunjukkan separatisme disana tidak pernah bisa padam, sekalipun dengan banyak uang mengalir kesana oleh pusat. Otsus Papua yang berarti banyak uang dikucurkan pemerintah pusat tidak menghalangi perjuangan Papua merdeka rakyat Papua untuk berdaulat penuh, malah anasir-nasir separatisme tetap muncul kembali.
Namun di Aceh konflik bersenjata selama ini yang kita kenal banyak membawa korban kedua bela pihak bertikai (TNI/POLRI-GAM) selesai. Diera Otsus NAD, apalagi tuntutan utama mereka selama ini yakni pelaksanaan syari’at islam sudah berjalan baik disana, membenarkan asumsi orang bahwa konflik secara militer kedua bela-pihak sudah selesai untuk sementara saat ini atau tetap akan muncul kembali? Kita tidak tahu!
Otsus Papua demikian sama halnya dengan Aceh diterima dengan syarat oleh PDP. Karena Otsus Papua katanya sebagai hasil kompromi dan itu dianggap oleh kedua belapihak yang berbeda ideologi itu sebagai jalan tengah dari kebuntuan. Ternyata dugaan itu terbantahkan sendiri oleh banyak fakta sepanjang Otsus berjalan terutama tahun 2008-2009 ini dimana-mana muncul aksi-aksi separatis di sejumlah lokasi wilayah Papua sebagaimana disebut diatas.
Mengapa itu bisa terjadi? Bukankah dengan Otsus orang Papua sudah menerimanya? Harus diingat bahwa
E. OPM : Otsus Bukan Solusi
Otsus Papua sebagai hasil kompromi antara
Selama ini hanya oleh PDP yang menerima Otsus dengan syarat, tapi sejumlah kalangan intelektual Papua yang berada di universiatas tidak menerima Otsus Papua. Mereka meminta dialog antara Jakarta-Papua dan itu harus dimediasi oleh pihak lain sebagai penengah. Keinginan dialog secara gentelmant ini selalu ditolak
Akibat semuanya itu TPN/OPM saat ini tetap eksis di rimba raya Papua dalam aktivitas gerilya dan selalu akan mengganggu aktifitas pembangunan Papua oleh pemerintah Indonesia selama ini dalam kompromi mencari solusi soal Papua tidak pernah melibatkan mereka। Karena bagi mereka selama ini Pemerintah Indonesia melibatkan kelompok lain dikota bukan langsung dengan dirinya (TPN/OPM) dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Papua.
Oleh sebab itu wajar akibatnya anasir-anasir separatisme belum pernah benar-benar padam secara tuntas dengan secara sebenarnya, sebagaimana di Aceh dengan perjanjian melibatkan kelompok GAM sungguhan akhirnya letupan kontak senjata kini tak terdengar lagi। Bentrokan antara TNI/POLRI versus GAM dalam soal sama dibelahan ujung barat Indonesia itu (Nagri Aceh Darussalam) sudah dikatakan aman damai. Bahkan Gubernur NAD saat ini adalah Irwandi Yusuf, mantan Panglima GAM.
Kenyataan lain kita alami saat ini di Papua, betapapun Otsus Papua dapat dianggap meredam anasir separatisme tapi kenyataan sesungguhnya Otsus punya potensi menimalisir bukan jalan tengah, apalagi sama sekali bukan solusi final seperti didugaa banyak orang dari awal. Sebab sejauh ini dan itu tetap akan demikian nanti untuk selamanya, jika penyelesaian konflik TNI/POLRI versus TPN/OPM tidak pernah melibatkan kelompok separatisme sesungguhnya yakni TPN/OPM.
Selama ini yang duduk berunding hanya dengan beberapa orang kelompok pro
Kecuali hanya menimalisir anasir-anasir separatisme potensial kaum intelektual dan OPM
Karena itu wajar perundingan elit Papua-Jakarta tanpa melibatkan mereka (TPN/OPM) dan tanpa kesadaran dialog sepanjang pelanggaran Ham, keadilan ekonomi, tidak ditegakkan maka selama itu pula perjuangan kemerdekaan tetap eksis। Bagi mereka selain dialog antara Papua-Jakarta yang di mediasi pihak internasional belum dipenuhi pusat, sepanjang itu pula TPN/OPM, mahsiswa dan rakyat Papua selalu menyuarakan dan akan meneriakkan yel-yel perjuangan dengan mengangkat issu-issu relevant. Genosida! Jawanisasi! Islamisasi! Pelanggaran HAM! Demokrasi! Dan seterusanya.
Mahasiswa Papua dibelakangnya rakyat Papua dan TPN/OPM selalu mengeluarkan suara-suara sumbang itikad baik pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar