Dalam pesan singkat (SMS) pada saya Prof Dr. Sri Bintang Pamungkas :
"Seringkali Revolusi pemikiran tidak ada artinya tanpa revolusi fisik. Kalau Anda disini (Jakarta), datanglah {pada hari, IA) Jum'at didepan gedung DPR RI/MPR RI, Jl Gatot Subroto pada Jum'at 14 Agustus 2009, Jam 14, sendiri atau dengan kawan-kawan. Terimaksih. Salam Revolusi! SBP." (Sms, SBP, terkirim: 19;32;04/11/ 08/2009).
Pesan ini jika diperhatikan sangat bersetuju dengan pandangan singkat Saudaraku, Bung Hans Tapol (selanjutnya nama hanya singkat, HT). Jadi ini artinya disini saya juga ingin mengatakan bahwa saya sangat setuju dengan pendapat Saudarku HT. Karena revolusi pemikiran tanpa revolusi fisik sebagaimana terlihat dalam sms singkat tokoh roformasi paling utama dan pertama era perintahan otoriter dan sentralistik Soeharto yang berkuasa selam 32 tahun, itu sangat pas dan sejalan dengan semangat Saudara HT.
Dimana-mana bahwa memang benar terbukti kalau saya hanya berteriak-teriak revolusi fidik atau perang sebagai solusi bagi Papua, tanpa terjun kelapangan memimpin langsung rakyat untuk melakukan revolusi sama artinya saya mengajak rakyat Papua "kekawasan perburuan".
Tapi kalau tidak begitu nanti baiknya dan harusnya bagaimana lagi jalan terbaik menurut Tuan HT? Yang adanya saja seperti ini, apakah nanti juga akan terus begitu dan kembali jadi begini lagi? Manusia Papua terus dilenyapkan/ dimusnahkan, tapi kitanya tidak merasa kalau itu prosesnya sedang berlangsung pada diri kita. Tapi anehnya kita hanya diam, perjuangan damai, perjuangan damai dan terus begitu akhirnya solusi dialog, rakyat Papua minta dialog demikian mau ditipu orang-orang itu.
Lalu apakah kita membiarkan diri saat anjing rabies mengigit terus dengan erangan tajam dengan gigi taringnya yang tajam tapi juga berpenyakit? Dengan hanya dengan gigitan tentu kita habis (punah, musnah) tanpa menggigit juga kita mati, apalagi dimakan tubuh dan daging kita, dilawan atau tidak dilawan juga tetap kita mati karena rabiesnya. Apa yang harus kita laukan, apakah kita cari obat ke Amerika atau ke Jakarta ? Hendak cari jawab kemana solusinya? Menurut saya jawabannya ada pada diri kita, orang Papua sendiri, kita maunya bagaimana menghadapai situasi seperti ini.
Mohon maaf dalam beberapa bulan yang lalu saya sempat ada di tanah jajahan RI itu. Saat itu aku ada di Jayapura. Adalah kebiasaan saya setiap tahun atau setiap setengah tahun sekali sudah menjadi keharusan bagi saya bahwa pasti saya sempat2kan diri pulang di Tanah tercinta Papua. Saat itu aku ketemu dengan teman aktivis Dorus Wakum didepan Plaza AB , saya tanya dia :
"Orang Papua jarang terlihat disemua sudut kota ini, dibandingkan 5-10 tahun yang lalu dalam lawatan saya masih banyak tersisa, kini semakin habis, sepi, mereka pada kemana mereka perginya? Tapi saya sendiri tahu jawab. Saya katakana pada dua rekan saya itu begini : Sejak Otsus tahun 1999, angka kematian orang Papua paling sangat tertinggi disebabkan Minuman keras cap: “Khusus untuk di jual Papua”. Minuman itu diproduksi untuk konsumsi dan dijual hanya diwilayah Papua. Minuman itu pabriknya ada di Jawa Timur. Lalu penyebab kematian tertinggi kini lebih-lebih nanti bagi etnis Pribumi Papua adalah penyakit HIV/AIDS. Penyakit ini telah akan banyak menyebabkan kematian begitu banyak orang Papua, sejak Otsus di berlakukan dan deklarasi tokoh Papua dan teolog,'Papua Zona Damai'.
Saya katakan pada Dorus Wakum dan Benny Elabi saat itu tanpa sadar saya sudah meneteskan air-mata (sungguhn saya benar-benar menangis), saya sedih, ya saya menangisi akan nasib manusia Papua tanpa mereka tahu apa salah dan dosa, tapi hanya karena mereka semata-mata mempertahankan hak hidup mereka di negerinya, tapi nasib tragis dihadapi mereka seperti halnya pembunuhan secara sistematis dan terstructur, saya harus meratapi nasib malang orang Papua yang adalah juga bagian dari diri saya itu.
Saat ini saya menangis membuat dua kawanku membakar bara api revolusi, semangat jihad mereka. Karena barangkali mungkin secara adat saya sudah melakukan, sebagaimana biasa dilakukan orang tua-tuaku di Lembah Baliem mau berperang harus menangis meratap bersama untuk membangkit semangat kobaran apai keberanian para pasukan. Saya jujur tapi tanpa sengaja dan saya rencanakan sebelumnya, begitu saja air mata keluar menjumpai situasi seperti itu.
Menambah rasa luka akan kesedihan bahwa, banyak kehilangan sejumlah nyawa rakyat Papua, dan itu selalu saya amati setiap kali saya pulang kampung bahwa benar ada pembunuhan dan penghilangan atau pemusnahan etnis Papua yang disengaja lakukan oleh sebuah sistem secara sistematis dan itu sepertinya direstui dilakukan orang oleh negara. Akibatnya, tatkala terakhir aku kunjungi mengamati orang Papua nyata-nyatanya mulai mengurang jumlah populasi pendduduknya. Gawat!
Anda bisa bayangkan bahwa dalam satu angkot didalam kota Ibukota Propinsi Jayapura misalnya disejumlah tempat, dipinggir jalan, pemikiman-pemukiman orang Papuanya terlihat sangat jarang, terus menghilang. Dalam angkutan mobil umum misalnya jurusan AB-Perumnas I-II-III, atau AB-Kota Raja, pada saat jam kerja dari 10 penumpang orang Papua dalam angkot itu, orang Papua asli hanya ada 3 orang penumpang, selebihnya "amber".
Ini artinya apa? Begitu banyak penduduk Papua sudah mati dibunuh tanpa senjata. Melaui apa? Minuman keras, uang Otsus trilyunan, WTS, suntik KB, menembak mati atau diculik biasa dilakukan AD, Brimob terhadap anak-anak mahasiswa pegunungan di asrama Nayak dan asrama-asrama lain milik pemda di AB.
Kalau dalam perjuangan ada violens dan nonviolens, maka pembunuhan juga terjadi secara fisik dan non fisik. Secara fisik perlawanan dan penembakan lebih sering dan secara kasuistik/sporadis misalnya di Daerah Serui dan Punjak Jaya beberapa waktu kemarin lalu yang mengakibatkan kematian dan penyerangan aparat militer dari aparat KEPOLISIAN RI, ke daerah wilayah yang mereka diduga sebagai kampong tempat persembunyian tokoh OPM walaupun yang ditangkap hanya ibu-ibu dan anak-anak usia belasan tahun saat pulang sekolah SMP. Demikian dibanyak tempat terjadi diduga sebagai markas TPN/OPM, itu terjadi antara rakyat Papua dan TPN/OPM berhadapan dengan TNI/POLRI.
Secara non fisik pembunuhan secara halus melalui minuman, uang Otsus (sebab banyak uang orang Papua biasa lari ke “Sentani Kiri”, atau diskotek yang sangat ramai mendadak muncul disemua sudut kota Jayapura dalam masa Otsus ini. Itu semua berarti bagi mereka jebakan pembunuhan secara diam terhadap etnis Papua. Semua itu adalah ranjau-ranjau baru menjebak orang Papua untuk dibunuh-habisi, karena dengan uang Otsus “paha putih” dapat dibeli model apa saja, tapi tanpa tahu akibatnya kematian karena mengidapa HIV/AIDS.
Kalau kenyataannya begitu apakah kita tidak membela diri? Mau harap sama siapa? Tuhan, Amerika, Belanda , Australia atau pada Obama, Faleomavega atau pada siapa? Saya kira jawaban sederhana saya adalah bahwa kita menolong diri sendiri adalah pertama lalu ada orang lain perduli pada kita mau membantu. Kalau kita diam harap Tuhan dengan hanya mengharap dan mengatakan Zona Damai, siapa mau peduli?
Konkritnya memang mengorganisasi, tapi secara revolusioneer adalah bergerak dulu, artinya genderang perang lawan penjajahan dan penindasan sudah dibunyikan, maka kebutahan dan indentifikasi masalah seperti krisis kepemimpinan akan bisa lahir melalui revolusi fisik. Sebab secara antropologis sitem raja hanya daerah Fak-Fak dan Raja Ampat, yang berarti menunggu perintah, kalau mayoritas penduduk Papua memiliki pola kepemimpinan Kepala Suku, dalam tradisi Papua adalah sistem insindental (kepala Suku/Ondoafi) , maka gederang perang melawan penindasan adalah solusi sekaligus jalan menuju Papua Merdeka memunculkan pemimpin Papua yang dirasakan kurang saat ini.
*Ismail Asso adalah muslim Papua kelahiran Walesi Wamena Papua
http://ismail-asso.blogspot.com
"Seringkali Revolusi pemikiran tidak ada artinya tanpa revolusi fisik. Kalau Anda disini (Jakarta), datanglah {pada hari, IA) Jum'at didepan gedung DPR RI/MPR RI, Jl Gatot Subroto pada Jum'at 14 Agustus 2009, Jam 14, sendiri atau dengan kawan-kawan. Terimaksih. Salam Revolusi! SBP." (Sms, SBP, terkirim: 19;32;04/11/ 08/2009).
Pesan ini jika diperhatikan sangat bersetuju dengan pandangan singkat Saudaraku, Bung Hans Tapol (selanjutnya nama hanya singkat, HT). Jadi ini artinya disini saya juga ingin mengatakan bahwa saya sangat setuju dengan pendapat Saudarku HT. Karena revolusi pemikiran tanpa revolusi fisik sebagaimana terlihat dalam sms singkat tokoh roformasi paling utama dan pertama era perintahan otoriter dan sentralistik Soeharto yang berkuasa selam 32 tahun, itu sangat pas dan sejalan dengan semangat Saudara HT.
Dimana-mana bahwa memang benar terbukti kalau saya hanya berteriak-teriak revolusi fidik atau perang sebagai solusi bagi Papua, tanpa terjun kelapangan memimpin langsung rakyat untuk melakukan revolusi sama artinya saya mengajak rakyat Papua "kekawasan perburuan".
Tapi kalau tidak begitu nanti baiknya dan harusnya bagaimana lagi jalan terbaik menurut Tuan HT? Yang adanya saja seperti ini, apakah nanti juga akan terus begitu dan kembali jadi begini lagi? Manusia Papua terus dilenyapkan/ dimusnahkan, tapi kitanya tidak merasa kalau itu prosesnya sedang berlangsung pada diri kita. Tapi anehnya kita hanya diam, perjuangan damai, perjuangan damai dan terus begitu akhirnya solusi dialog, rakyat Papua minta dialog demikian mau ditipu orang-orang itu.
Lalu apakah kita membiarkan diri saat anjing rabies mengigit terus dengan erangan tajam dengan gigi taringnya yang tajam tapi juga berpenyakit? Dengan hanya dengan gigitan tentu kita habis (punah, musnah) tanpa menggigit juga kita mati, apalagi dimakan tubuh dan daging kita, dilawan atau tidak dilawan juga tetap kita mati karena rabiesnya. Apa yang harus kita laukan, apakah kita cari obat ke Amerika atau ke Jakarta ? Hendak cari jawab kemana solusinya? Menurut saya jawabannya ada pada diri kita, orang Papua sendiri, kita maunya bagaimana menghadapai situasi seperti ini.
Mohon maaf dalam beberapa bulan yang lalu saya sempat ada di tanah jajahan RI itu. Saat itu aku ada di Jayapura. Adalah kebiasaan saya setiap tahun atau setiap setengah tahun sekali sudah menjadi keharusan bagi saya bahwa pasti saya sempat2kan diri pulang di Tanah tercinta Papua. Saat itu aku ketemu dengan teman aktivis Dorus Wakum didepan Plaza AB , saya tanya dia :
"Orang Papua jarang terlihat disemua sudut kota ini, dibandingkan 5-10 tahun yang lalu dalam lawatan saya masih banyak tersisa, kini semakin habis, sepi, mereka pada kemana mereka perginya? Tapi saya sendiri tahu jawab. Saya katakana pada dua rekan saya itu begini : Sejak Otsus tahun 1999, angka kematian orang Papua paling sangat tertinggi disebabkan Minuman keras cap: “Khusus untuk di jual Papua”. Minuman itu diproduksi untuk konsumsi dan dijual hanya diwilayah Papua. Minuman itu pabriknya ada di Jawa Timur. Lalu penyebab kematian tertinggi kini lebih-lebih nanti bagi etnis Pribumi Papua adalah penyakit HIV/AIDS. Penyakit ini telah akan banyak menyebabkan kematian begitu banyak orang Papua, sejak Otsus di berlakukan dan deklarasi tokoh Papua dan teolog,'Papua Zona Damai'.
Saya katakan pada Dorus Wakum dan Benny Elabi saat itu tanpa sadar saya sudah meneteskan air-mata (sungguhn saya benar-benar menangis), saya sedih, ya saya menangisi akan nasib manusia Papua tanpa mereka tahu apa salah dan dosa, tapi hanya karena mereka semata-mata mempertahankan hak hidup mereka di negerinya, tapi nasib tragis dihadapi mereka seperti halnya pembunuhan secara sistematis dan terstructur, saya harus meratapi nasib malang orang Papua yang adalah juga bagian dari diri saya itu.
Saat ini saya menangis membuat dua kawanku membakar bara api revolusi, semangat jihad mereka. Karena barangkali mungkin secara adat saya sudah melakukan, sebagaimana biasa dilakukan orang tua-tuaku di Lembah Baliem mau berperang harus menangis meratap bersama untuk membangkit semangat kobaran apai keberanian para pasukan. Saya jujur tapi tanpa sengaja dan saya rencanakan sebelumnya, begitu saja air mata keluar menjumpai situasi seperti itu.
Menambah rasa luka akan kesedihan bahwa, banyak kehilangan sejumlah nyawa rakyat Papua, dan itu selalu saya amati setiap kali saya pulang kampung bahwa benar ada pembunuhan dan penghilangan atau pemusnahan etnis Papua yang disengaja lakukan oleh sebuah sistem secara sistematis dan itu sepertinya direstui dilakukan orang oleh negara. Akibatnya, tatkala terakhir aku kunjungi mengamati orang Papua nyata-nyatanya mulai mengurang jumlah populasi pendduduknya. Gawat!
Anda bisa bayangkan bahwa dalam satu angkot didalam kota Ibukota Propinsi Jayapura misalnya disejumlah tempat, dipinggir jalan, pemikiman-pemukiman orang Papuanya terlihat sangat jarang, terus menghilang. Dalam angkutan mobil umum misalnya jurusan AB-Perumnas I-II-III, atau AB-Kota Raja, pada saat jam kerja dari 10 penumpang orang Papua dalam angkot itu, orang Papua asli hanya ada 3 orang penumpang, selebihnya "amber".
Ini artinya apa? Begitu banyak penduduk Papua sudah mati dibunuh tanpa senjata. Melaui apa? Minuman keras, uang Otsus trilyunan, WTS, suntik KB, menembak mati atau diculik biasa dilakukan AD, Brimob terhadap anak-anak mahasiswa pegunungan di asrama Nayak dan asrama-asrama lain milik pemda di AB.
Kalau dalam perjuangan ada violens dan nonviolens, maka pembunuhan juga terjadi secara fisik dan non fisik. Secara fisik perlawanan dan penembakan lebih sering dan secara kasuistik/sporadis misalnya di Daerah Serui dan Punjak Jaya beberapa waktu kemarin lalu yang mengakibatkan kematian dan penyerangan aparat militer dari aparat KEPOLISIAN RI, ke daerah wilayah yang mereka diduga sebagai kampong tempat persembunyian tokoh OPM walaupun yang ditangkap hanya ibu-ibu dan anak-anak usia belasan tahun saat pulang sekolah SMP. Demikian dibanyak tempat terjadi diduga sebagai markas TPN/OPM, itu terjadi antara rakyat Papua dan TPN/OPM berhadapan dengan TNI/POLRI.
Secara non fisik pembunuhan secara halus melalui minuman, uang Otsus (sebab banyak uang orang Papua biasa lari ke “Sentani Kiri”, atau diskotek yang sangat ramai mendadak muncul disemua sudut kota Jayapura dalam masa Otsus ini. Itu semua berarti bagi mereka jebakan pembunuhan secara diam terhadap etnis Papua. Semua itu adalah ranjau-ranjau baru menjebak orang Papua untuk dibunuh-habisi, karena dengan uang Otsus “paha putih” dapat dibeli model apa saja, tapi tanpa tahu akibatnya kematian karena mengidapa HIV/AIDS.
Kalau kenyataannya begitu apakah kita tidak membela diri? Mau harap sama siapa? Tuhan, Amerika, Belanda , Australia atau pada Obama, Faleomavega atau pada siapa? Saya kira jawaban sederhana saya adalah bahwa kita menolong diri sendiri adalah pertama lalu ada orang lain perduli pada kita mau membantu. Kalau kita diam harap Tuhan dengan hanya mengharap dan mengatakan Zona Damai, siapa mau peduli?
Konkritnya memang mengorganisasi, tapi secara revolusioneer adalah bergerak dulu, artinya genderang perang lawan penjajahan dan penindasan sudah dibunyikan, maka kebutahan dan indentifikasi masalah seperti krisis kepemimpinan akan bisa lahir melalui revolusi fisik. Sebab secara antropologis sitem raja hanya daerah Fak-Fak dan Raja Ampat, yang berarti menunggu perintah, kalau mayoritas penduduk Papua memiliki pola kepemimpinan Kepala Suku, dalam tradisi Papua adalah sistem insindental (kepala Suku/Ondoafi) , maka gederang perang melawan penindasan adalah solusi sekaligus jalan menuju Papua Merdeka memunculkan pemimpin Papua yang dirasakan kurang saat ini.
*Ismail Asso adalah muslim Papua kelahiran Walesi Wamena Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar