Bismillaahirrahmaanirrahiim
Sebelum Islam datang ke Acheh, Hindu dan Budha adalah tuan Rumah di Nusantara ini termasuk Acheh didalamnya. . Ratusan tahun kemudian barulah Islam datang dari Gujarat dan Persia. Dari Gujarat saya tidak begitu fokus disebabkan kurant buktinya, sementara dari Persia bukan saja mendapat dukungan Al Qur-an tapi juga historis dimana hal tersebut dapat kita pelajari Al Qur-an Surah Jum’at ayat 3, sementara secara historis, Islam berkembang di Parsi paska Syahidnya Imam Hussein di Karbala Irak. Syiah di Acheh juga dapat di deteksi melalui “tanda-tanda” bagi orang yang jujur dan ikhlas serta bertanggung jawab.
Adapun dalil naqli tentang perkembangan Islam di Parsi (baca Iran dan Irak sekarang ini), firman Allah: “Wa akharina minhum lamma yal haqu bihim, wahuwal ‘azizul hakim” (QS, 62 : 3)
Setelah memberitahukan kita bahwa apa saja yang ada di Langit dan di Bumi mengucapkan tasbih kepadaNya (sesuai bahasa yang dimiliki makhlukNya masing-masing) (QS, 62 : 1), Allah juga memberitahukan manusia bahwa Dialah yang membangkitkan seorang Rasul ditengah-tengah (kaum) yang “ummi” untuk mengajarkan kepada mereka (baca bangsa Arab) akan ayat-ayat Nya, ”membersihkan” mereka dari Syirik Dan mengajarkan mereka Kitab (baca Qur-an) dan hikmah (baca ilmu yang diturunkan di Masy’arul Haram), dimana mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata (QS, 62 : 2), Allah melanjutkan ayatNya dengan perihal bangsa Parsi (baca Iran dan Irak sekarang ini).
“Dan kepada kaum yang lain yang belum berhubungan dengan mereka, dan sesungguhnya Dia perkasa dan bijaksana” (QS, 62 : 3). “Demikian lah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS, 62 : 4)
Ketika Rasulullah membacakan ayat 3 surah Jum’at tersebut diatas, para sahabat bertanya: ”Siapakah ”kaum yang lain” yang dimaksudkan Allah dalam ayat tersebut, ya Rasulallah?”, Rasulullah meletakkan tangannya ke atas kepala Salman al Faraisi sambil mengatakan: ” Mereka dari golongan inilah. Andaikata Iman itu berada di bintang Suraiya, mereka sanggup menggapainya” Hadist ini terkenal dikalangan Sunni, sepertinya tidak pernah dikomentari oleh Syiah Imamiyah 12 atau Islam Mazhab Jakfari, khususnya bangsa Parsi sebagai bangsa cikal-bakal, kombinasi dari keturunan Rasulullah (baca Imam Hussein) dan bangsa Aria, ras Jerman unggul.
Ali al Asytar yang sedang menggoreskan isi ”pena” internetnya ini tidak memihak kepada Acheh - Sumatra dan juga tidak memihak kepada RII, tidak ke Barat dan tidak ke Timur tapi kepada Allah swt yang telah menu runkan Kitabnya (baca Qur-anulkarim). Sungguh beruntunglah manusa yang senantiasa berpedoman kepada petunjuk Allah dan sungguh celaka lah orang-orang yang fanatikbuta, melihat suatu persoalan dengan menge depankan pikiran yang picik, duluan buruk sangka sebelum menelitinya secara cermat sebagaimana lazimnya hamba-hamba Allah lakukan ketika berhadapan dengan fenomena yang masih asing baginya.
Sejak Syahidnya Imam Ali in Abi Thalib, system Islam yang sempat mengalami “pelintiran” oleh orang-orang yang menyingkirkan peranan Hadist Rasulullah yang murni, akibat ambisius kepemimpinannya, Muawiyah menyulap system tersebut hingga esensi Islam tergusur tuntas. “Islam di tangan penguasa Dhalim bagaikan bahtera terbalik dimana seluruh isinya tertumpas habis“, demikianlah lebih-kurang pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib as. System Taghut Muawiyah dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah yang ditentang oleh Imam Hussein beserta keluarganya dan sahabat setianya di medan tempur Karbala. System tersebut dilanjutkan oleh keturunan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb yang terkenal dengan istilah “bani Umaiyah”. Dalam kurun waktu yang demikian lama keturunan Rasulullah senantiasa di fitnah oleh penguasa secara systimatis melalui power system Taghutnya. Siapapun yang berani mengikuti agama Islam versi keturunan Rasulullah akan mengalami nasib yang sama sebagaimana yang dialami keturunan Rasulullah sendiri, di tindas, dianianya, diracun, dibakar hidup-hidup dan dibunuh secara sadis sekali. Kedhaliman yang mereka lakukan atas nama Islam Sunni yang bersatupadu dalam system Bani Umaiyah sebagaimana orang alimpalsu bersatupadu dalam system Hindunesia - Jawa, Arab Saudi, Mesir dan sebagainya dewasa ini, dilanjutkan oleh system Taghut bani Abbaisiyah setelah mereka berhasil meluluhlantakkan system Taghut Bani Umaiyah.
Justru itulah sebahagian pengikut Islam garis keturunan Rasulullah (baca Ahlulbaytnya) terpaksa hijrah ke berbagai negara termasuk ke Acheh - Sumatra, dimana banyak orang Acheh sepertinya masih belum mengenal siapa endatu mereka sesungguhnya. Untuk ini perlu kita buat penelitian kenapa di Acheh - Sumatra banyak sekali nama ahlulbayt Rasulullah seperti Ali, Hassan, Hussein, Jakfar, Musa, Muhammad, Mahdi, Alwi, Kassim, Khadijah, Fatimah, Zainab, Ummi Kalsum, Syaribanun (syahbanu) dan sebagainya. (Silakan baca tulisan DR Hasballah Sa’at untuk lebih jelas lagi). Ada sedikit guyon dari saudara Hasballah bahwa ada orang buta huruf di kawasan Gle Gapui kawasan Acheh - Pidie (Jabbal Ghafur) menamakan ketiga anak lelakinya: Hassan, Maddan dan Hussein. Menurut DR Hasballah Sa’at yang pernah terperangkap sebagai Menteri dalam system Taghut Hindunesia itu orang tua yang buta huruf itu mengira nama 2 cucu Rasulullah “Hasan dan Hussein”, “dan” nya sebagai nama juga hingga nama anak ke 2 di beri nama “Maddan”. Padahal dan itu kan kata hubung atau kata sambung. Demikianlah pengaruh nama cucu Rasulullah atau Ahlulbayt di Acheh. Sayangnya sepertinya orang Acheh sekarang mengingkari realitanya. Ada sedikit yang perlu dikoreksi tulisan DR Hasballah tersebut dimana kisah tentang Muhammad Hanafiah yang lain ibunya dengan Imam Hussein adalah keliru. Hal seperti itulah yang memerlukan penelitian, andaikata Acheh -Sumatra sudah terlepas dari penjajahan Hindunesia. Pastinya penelitian seperti itu terabaikan selama Penguasa Hindunesia masih bercokol di Tanah Rencong itu.
Imam Ali as tidak pernah memadukan Fatimah az Zahara sebagaimana Rasulullah juga tidak pernah memadukan Sity Khadijah bin Khuwailid. Tidak ada seorang wanitapun di jaman Rasulullah yang setara dengan Khadijah bin Khuwailid. Rasulullah dan Khadijah adalah pasangan yang ideal. Adalah hal yang sama Allah menganugerahkan seorang wanita pilihan kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az Zahara bin Muhammad Rasulullah saww. Kapan juga Rasulullah berpoligami? Setelah meninggalnya Khadijah. Kapan Imam ‘Ali berpoligami? Setelah meninggalnya Fatimah. Justru itu sangat keliru ketika ada anggapan bahwa Fatimah merasa tidak enak ketika Muhammad bin Hanafiah ditempatkan atas paha kanan Rasulullah sementara Imam Hussein di paha kiri. Padahal Hanafiah belum exist ketika itu.
Disamping “jejak nama” kita juga menemukan jejak lainnya di Acheh - Sumatra seperti trian “Sedati” yang memukul dada. Ini adalah symbolisasi daripada kesedihan peristiwa Karbala. Saya yakin andaikata Acheh - Sumatra merdeka, akan ada pengembangan daripada tari Sedati tersebut, diantaranya tidak lagi kita peragakan tangannya kebawah serta membungkuk sepertinya terkesan bahwa bangsa Acheh - Sumatra akan menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pihak musuh setelah setiap kali berjuang dengan semangat bajanya. Lihat akhir perjuangan Abu Daud di Beureueh, Beureunuen, Acheh - Pidie dan lihat juga perjuangan DR TGK Hasan Muhammad di Tiro, Acheh - Pidie juga, sepertinya akan mengalami nasib yang sama. Helsinki itu macam “Lamtehnya” Abu di Beureueh, kendatipun bukan gagasannya tapi pengikutnya yang terperangkap tipudaya musuh.
Sehubungan dengan hal ini semua, dapat diikuti penjelasan selanjutnya: ”Alif Lam Mim, Bangsa Rumawi telah dikalahkan di negara tetangga. Namun setelah mereka mengalami kekalahan, mereka akan mengalami kemenangan kembali pada sepuluh tahun kemudian. Soal kemenangan pertama dan kemenangan terakhir adalah urusan, Allah. Disa’at itu orang-orang beriman merasa gembira” (QS. Ar Rum 1 - 4)
Secara historis kita bingsa Acheh dapat menelusuri bagaimana bangsa Parsi itu mendapat pernyataan Allah sendiri yang dikuatkan lagi oleh Rasul Nya ketika para sahabat menanyakan pengertian daripada ayat 3 Surah Jum'at tersebut. Ketika bangsa Arab mengalahkan Parsi, mereka membawa tawanan Mada'in (Taisfun) itu ke Madinah. Umar bin Khattab memerintahkan kesemua tawanan wanita dijadikan hamba Muslim. Imam 'Ali melarang dan berkata bahwa puteri - puteri dikecualikan dan perlu dihormati. Dua orang putri yang cantik bernama Syahbanu dan Syahzanan adalah putri dari Raja Yardigerd yang harus dimuliakan. Umar bertanya kepada Imam 'Ali apa yang seharusnya dilakukan. Imam menjawab bahwa setiap mereka diperkenankan memilih suami dari orang Islam. Dari itu Syahzanan memilih Muhammad bin Abubakar, orang yang telah ”dibesarkan” oleh Imam 'Ali. Sedangkan Syahbanu memilih Imam Hussein bin 'Ali, cucu Rasulullah saww sendiri. Dari hasil perekawinan Cucu Rasulullah Hussein bin 'Ali dengan Syahbanu, putri Parsi inilah kelak yang membawa keturunan cikal - bakal dalam bangsa Parsi yang dapat kita saksikan sampai hari ini, dimana mereka menggunakan sorban hitam sementara keturunan non Rasulullah mengenakan sorban putih. Hal ini memang sangat unik. Saya katakan unik disebabkan tidak ada seorangpun dari keturunan non Rasulullah yang memprotes persoalan sorban hitam dan putih itu, kecuali sepertinya suatu keyakinan juga agar identitas keluarga Rasulullah dapat di lestarikan sampai kiamat dunia. Disamping itu di Parsi (baca Iran dan Irak) juga terdapat gelar Ayatullah yang berarti ayat Allah untuk para ulama, dimana gelar seperti itu tidak kita dapati di kawasan lainnya. Dengan kata lain gelar tersebut hanya disandang oleh ulama-ulama Syi'ah Imamiyah 12 sebagaimana juga terdapat di Libanon sekarang.
Kemuliaan bangsa Parsi nampaknya difasilitasi oleh perpaduan keluarga Rasul yang 'Arabiy dengan bangsa Arya, ras unggul Jerman. 'Ali Zainal 'abidin bin Hussein bin 'Ali kembali ke Parsi, negeri bundanya Syahbanu. Setelah keluarga Rasul dibantai di Karbala, Kesimpulan apa yang dapat kita petik dari realita ini adalah kemuliaan yang disandang bangsa Parsi setelah mereka menerima Imam ’Ali pada masa hayat Nabi, bukan pada pemerintahan Harun Ar Rasyid sebagaimana disangkakan orang. Salman al Faraisi adalah seorang dari pengikut Imam ’Ali yang sangat setia dan ikhlas. Dia sampai ke derjah iman yang tertinggi setelah para Ahlulbayt dan para Imam yang diutus Allah paska berakhirnya era kenabian.
Billahi fi sabililhaq
Ali al Asytar
Acheh Sumatra
HADIST RASULULLAH MENGGAMBARKAN KEUTAMAAN BANGSA PARSI DIATAS BANGSA MANAPUN DI DUNIA INI
TERMASUK BANGSA ARAB SEKALIPUN
Ali al Asytaar
Acheh - Sumatra
TERMASUK BANGSA ARAB SEKALIPUN
Ali al Asytaar
Acheh - Sumatra
SALMAN AL FARAISI ADALAH PENGIKUT SETIA IMAM ALI AS. BELIAU SAMPAI KEDERAJAT IMAN TERTINGGI SETELAH AHLULBAYT RASULULLAH
DAN
PARA IMAM YANG DIUTUS ALLAH PASKA ERA KENABIAN
MEREKA ADALAH HUJJAH ALLAH BUAT MANUSIA
DI
KOLONG LANGIT
DAN
PARA IMAM YANG DIUTUS ALLAH PASKA ERA KENABIAN
MEREKA ADALAH HUJJAH ALLAH BUAT MANUSIA
DI
KOLONG LANGIT
Sebelum Islam datang ke Acheh, Hindu dan Budha adalah tuan Rumah di Nusantara ini termasuk Acheh didalamnya. . Ratusan tahun kemudian barulah Islam datang dari Gujarat dan Persia. Dari Gujarat saya tidak begitu fokus disebabkan kurant buktinya, sementara dari Persia bukan saja mendapat dukungan Al Qur-an tapi juga historis dimana hal tersebut dapat kita pelajari Al Qur-an Surah Jum’at ayat 3, sementara secara historis, Islam berkembang di Parsi paska Syahidnya Imam Hussein di Karbala Irak. Syiah di Acheh juga dapat di deteksi melalui “tanda-tanda” bagi orang yang jujur dan ikhlas serta bertanggung jawab.
Adapun dalil naqli tentang perkembangan Islam di Parsi (baca Iran dan Irak sekarang ini), firman Allah: “Wa akharina minhum lamma yal haqu bihim, wahuwal ‘azizul hakim” (QS, 62 : 3)
Setelah memberitahukan kita bahwa apa saja yang ada di Langit dan di Bumi mengucapkan tasbih kepadaNya (sesuai bahasa yang dimiliki makhlukNya masing-masing) (QS, 62 : 1), Allah juga memberitahukan manusia bahwa Dialah yang membangkitkan seorang Rasul ditengah-tengah (kaum) yang “ummi” untuk mengajarkan kepada mereka (baca bangsa Arab) akan ayat-ayat Nya, ”membersihkan” mereka dari Syirik Dan mengajarkan mereka Kitab (baca Qur-an) dan hikmah (baca ilmu yang diturunkan di Masy’arul Haram), dimana mereka sebelumnya benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata (QS, 62 : 2), Allah melanjutkan ayatNya dengan perihal bangsa Parsi (baca Iran dan Irak sekarang ini).
“Dan kepada kaum yang lain yang belum berhubungan dengan mereka, dan sesungguhnya Dia perkasa dan bijaksana” (QS, 62 : 3). “Demikian lah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar” (QS, 62 : 4)
Ketika Rasulullah membacakan ayat 3 surah Jum’at tersebut diatas, para sahabat bertanya: ”Siapakah ”kaum yang lain” yang dimaksudkan Allah dalam ayat tersebut, ya Rasulallah?”, Rasulullah meletakkan tangannya ke atas kepala Salman al Faraisi sambil mengatakan: ” Mereka dari golongan inilah. Andaikata Iman itu berada di bintang Suraiya, mereka sanggup menggapainya” Hadist ini terkenal dikalangan Sunni, sepertinya tidak pernah dikomentari oleh Syiah Imamiyah 12 atau Islam Mazhab Jakfari, khususnya bangsa Parsi sebagai bangsa cikal-bakal, kombinasi dari keturunan Rasulullah (baca Imam Hussein) dan bangsa Aria, ras Jerman unggul.
Ali al Asytar yang sedang menggoreskan isi ”pena” internetnya ini tidak memihak kepada Acheh - Sumatra dan juga tidak memihak kepada RII, tidak ke Barat dan tidak ke Timur tapi kepada Allah swt yang telah menu runkan Kitabnya (baca Qur-anulkarim). Sungguh beruntunglah manusa yang senantiasa berpedoman kepada petunjuk Allah dan sungguh celaka lah orang-orang yang fanatikbuta, melihat suatu persoalan dengan menge depankan pikiran yang picik, duluan buruk sangka sebelum menelitinya secara cermat sebagaimana lazimnya hamba-hamba Allah lakukan ketika berhadapan dengan fenomena yang masih asing baginya.
Sejak Syahidnya Imam Ali in Abi Thalib, system Islam yang sempat mengalami “pelintiran” oleh orang-orang yang menyingkirkan peranan Hadist Rasulullah yang murni, akibat ambisius kepemimpinannya, Muawiyah menyulap system tersebut hingga esensi Islam tergusur tuntas. “Islam di tangan penguasa Dhalim bagaikan bahtera terbalik dimana seluruh isinya tertumpas habis“, demikianlah lebih-kurang pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib as. System Taghut Muawiyah dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah yang ditentang oleh Imam Hussein beserta keluarganya dan sahabat setianya di medan tempur Karbala. System tersebut dilanjutkan oleh keturunan Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb yang terkenal dengan istilah “bani Umaiyah”. Dalam kurun waktu yang demikian lama keturunan Rasulullah senantiasa di fitnah oleh penguasa secara systimatis melalui power system Taghutnya. Siapapun yang berani mengikuti agama Islam versi keturunan Rasulullah akan mengalami nasib yang sama sebagaimana yang dialami keturunan Rasulullah sendiri, di tindas, dianianya, diracun, dibakar hidup-hidup dan dibunuh secara sadis sekali. Kedhaliman yang mereka lakukan atas nama Islam Sunni yang bersatupadu dalam system Bani Umaiyah sebagaimana orang alimpalsu bersatupadu dalam system Hindunesia - Jawa, Arab Saudi, Mesir dan sebagainya dewasa ini, dilanjutkan oleh system Taghut bani Abbaisiyah setelah mereka berhasil meluluhlantakkan system Taghut Bani Umaiyah.
Justru itulah sebahagian pengikut Islam garis keturunan Rasulullah (baca Ahlulbaytnya) terpaksa hijrah ke berbagai negara termasuk ke Acheh - Sumatra, dimana banyak orang Acheh sepertinya masih belum mengenal siapa endatu mereka sesungguhnya. Untuk ini perlu kita buat penelitian kenapa di Acheh - Sumatra banyak sekali nama ahlulbayt Rasulullah seperti Ali, Hassan, Hussein, Jakfar, Musa, Muhammad, Mahdi, Alwi, Kassim, Khadijah, Fatimah, Zainab, Ummi Kalsum, Syaribanun (syahbanu) dan sebagainya. (Silakan baca tulisan DR Hasballah Sa’at untuk lebih jelas lagi). Ada sedikit guyon dari saudara Hasballah bahwa ada orang buta huruf di kawasan Gle Gapui kawasan Acheh - Pidie (Jabbal Ghafur) menamakan ketiga anak lelakinya: Hassan, Maddan dan Hussein. Menurut DR Hasballah Sa’at yang pernah terperangkap sebagai Menteri dalam system Taghut Hindunesia itu orang tua yang buta huruf itu mengira nama 2 cucu Rasulullah “Hasan dan Hussein”, “dan” nya sebagai nama juga hingga nama anak ke 2 di beri nama “Maddan”. Padahal dan itu kan kata hubung atau kata sambung. Demikianlah pengaruh nama cucu Rasulullah atau Ahlulbayt di Acheh. Sayangnya sepertinya orang Acheh sekarang mengingkari realitanya. Ada sedikit yang perlu dikoreksi tulisan DR Hasballah tersebut dimana kisah tentang Muhammad Hanafiah yang lain ibunya dengan Imam Hussein adalah keliru. Hal seperti itulah yang memerlukan penelitian, andaikata Acheh -Sumatra sudah terlepas dari penjajahan Hindunesia. Pastinya penelitian seperti itu terabaikan selama Penguasa Hindunesia masih bercokol di Tanah Rencong itu.
Imam Ali as tidak pernah memadukan Fatimah az Zahara sebagaimana Rasulullah juga tidak pernah memadukan Sity Khadijah bin Khuwailid. Tidak ada seorang wanitapun di jaman Rasulullah yang setara dengan Khadijah bin Khuwailid. Rasulullah dan Khadijah adalah pasangan yang ideal. Adalah hal yang sama Allah menganugerahkan seorang wanita pilihan kepada Imam ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az Zahara bin Muhammad Rasulullah saww. Kapan juga Rasulullah berpoligami? Setelah meninggalnya Khadijah. Kapan Imam ‘Ali berpoligami? Setelah meninggalnya Fatimah. Justru itu sangat keliru ketika ada anggapan bahwa Fatimah merasa tidak enak ketika Muhammad bin Hanafiah ditempatkan atas paha kanan Rasulullah sementara Imam Hussein di paha kiri. Padahal Hanafiah belum exist ketika itu.
Disamping “jejak nama” kita juga menemukan jejak lainnya di Acheh - Sumatra seperti trian “Sedati” yang memukul dada. Ini adalah symbolisasi daripada kesedihan peristiwa Karbala. Saya yakin andaikata Acheh - Sumatra merdeka, akan ada pengembangan daripada tari Sedati tersebut, diantaranya tidak lagi kita peragakan tangannya kebawah serta membungkuk sepertinya terkesan bahwa bangsa Acheh - Sumatra akan menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pihak musuh setelah setiap kali berjuang dengan semangat bajanya. Lihat akhir perjuangan Abu Daud di Beureueh, Beureunuen, Acheh - Pidie dan lihat juga perjuangan DR TGK Hasan Muhammad di Tiro, Acheh - Pidie juga, sepertinya akan mengalami nasib yang sama. Helsinki itu macam “Lamtehnya” Abu di Beureueh, kendatipun bukan gagasannya tapi pengikutnya yang terperangkap tipudaya musuh.
Sehubungan dengan hal ini semua, dapat diikuti penjelasan selanjutnya: ”Alif Lam Mim, Bangsa Rumawi telah dikalahkan di negara tetangga. Namun setelah mereka mengalami kekalahan, mereka akan mengalami kemenangan kembali pada sepuluh tahun kemudian. Soal kemenangan pertama dan kemenangan terakhir adalah urusan, Allah. Disa’at itu orang-orang beriman merasa gembira” (QS. Ar Rum 1 - 4)
Secara historis kita bingsa Acheh dapat menelusuri bagaimana bangsa Parsi itu mendapat pernyataan Allah sendiri yang dikuatkan lagi oleh Rasul Nya ketika para sahabat menanyakan pengertian daripada ayat 3 Surah Jum'at tersebut. Ketika bangsa Arab mengalahkan Parsi, mereka membawa tawanan Mada'in (Taisfun) itu ke Madinah. Umar bin Khattab memerintahkan kesemua tawanan wanita dijadikan hamba Muslim. Imam 'Ali melarang dan berkata bahwa puteri - puteri dikecualikan dan perlu dihormati. Dua orang putri yang cantik bernama Syahbanu dan Syahzanan adalah putri dari Raja Yardigerd yang harus dimuliakan. Umar bertanya kepada Imam 'Ali apa yang seharusnya dilakukan. Imam menjawab bahwa setiap mereka diperkenankan memilih suami dari orang Islam. Dari itu Syahzanan memilih Muhammad bin Abubakar, orang yang telah ”dibesarkan” oleh Imam 'Ali. Sedangkan Syahbanu memilih Imam Hussein bin 'Ali, cucu Rasulullah saww sendiri. Dari hasil perekawinan Cucu Rasulullah Hussein bin 'Ali dengan Syahbanu, putri Parsi inilah kelak yang membawa keturunan cikal - bakal dalam bangsa Parsi yang dapat kita saksikan sampai hari ini, dimana mereka menggunakan sorban hitam sementara keturunan non Rasulullah mengenakan sorban putih. Hal ini memang sangat unik. Saya katakan unik disebabkan tidak ada seorangpun dari keturunan non Rasulullah yang memprotes persoalan sorban hitam dan putih itu, kecuali sepertinya suatu keyakinan juga agar identitas keluarga Rasulullah dapat di lestarikan sampai kiamat dunia. Disamping itu di Parsi (baca Iran dan Irak) juga terdapat gelar Ayatullah yang berarti ayat Allah untuk para ulama, dimana gelar seperti itu tidak kita dapati di kawasan lainnya. Dengan kata lain gelar tersebut hanya disandang oleh ulama-ulama Syi'ah Imamiyah 12 sebagaimana juga terdapat di Libanon sekarang.
Kemuliaan bangsa Parsi nampaknya difasilitasi oleh perpaduan keluarga Rasul yang 'Arabiy dengan bangsa Arya, ras unggul Jerman. 'Ali Zainal 'abidin bin Hussein bin 'Ali kembali ke Parsi, negeri bundanya Syahbanu. Setelah keluarga Rasul dibantai di Karbala, Kesimpulan apa yang dapat kita petik dari realita ini adalah kemuliaan yang disandang bangsa Parsi setelah mereka menerima Imam ’Ali pada masa hayat Nabi, bukan pada pemerintahan Harun Ar Rasyid sebagaimana disangkakan orang. Salman al Faraisi adalah seorang dari pengikut Imam ’Ali yang sangat setia dan ikhlas. Dia sampai ke derjah iman yang tertinggi setelah para Ahlulbayt dan para Imam yang diutus Allah paska berakhirnya era kenabian.
Billahi fi sabililhaq
Ali al Asytar
Acheh Sumatra
http://ismail-asso.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar