SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

31 Mei 2011

ALMARHUM SYAHID DR ALI SYARI'ATI SANG ARSITEK REVOLUSI ISLAM IRAN

Minggu, 22 Mei 2011

ALMARHUM SYAHID DR ALI SYARI'ATI SANG ARSITEK REVOLUSI ISLAM IRAN



ALI SYARIATI
SANG ARSITEK REVOLUSI ISLAM IRAN



Bismillaahirrahmaanirrahiim

Salah satu pernyataan Syari’ati adalah ”Manusia menjadi ideal dengan mencari serta memperjuangkan umat manusia, dan dengan demikian, ia menemukan Tuhan”. Sedangkan ciri pemikiran Syari’ati menurut Shahrough Akhlavi adalah ”Agama harus ditransformasikan dari ajaran etika pribadi ke program revolusioner untuk mengubah dunia”(h.119)

Manusia sebagai khalifah digambarkan oleh Syari’ati sebagai manusia individu yang dimintai pertanggungjawaban oleh Tuhan sebegai individu. Karenanya, manusia adalah individu yang otonom, mempunyai kesadaran, mempunyai daya kreatifitas, dan mempunyai kebebasan kehendak. Pemikiran Syari’ati ini dipengaruhi oleh Eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan otonomi individual.

Meski menekankan tindakan etis perorangan, Syari’ati menyatakan bahwa setiap individu mempunyai tanggungjawab untuk perubahan masyarakatnya. Sayri’ati percaya bahwa revolusi digerakkan pertama-tama dengan menggerakkan masing-masing individu. Gerakan individual itu akan mengarah pada gerakan massa. Hal ini terlihat secara konkrit dalam ibadah haji. Syari’ati memberikan tafsiran haji pada penekanan pentingnya kualitas individual, tapi pada akhirnya harus melebur dengan gerakan massa. Sayri’ati memandang revolusi dapat digerakkan saat individu mampu menjalankan kewajibannya masing-masing, yang kemudian melebur dengan gerakan mass itu.

Syari’ati dan Eksistensialisme

Ciri-ciri umum eksistensialisme barat sangat terasa dalam beberapa pandangan Syari’ati. Pandangan Syari’ati secara khas membicarakan persoalan eksistensi yang berpusat perhatian kepada manusia. Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan dan selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Manusia dipandang terbuka, realitas yang belum selesai (h. 50). Jika Sartree membatasi manusia pada becoming sebagai proses untuk membentuk esensinya, Syari’ati lebih jauh lagi, yaitu potensi manusia menjadi lebih tinggi (h. 40). Inti pemikirannya bermula pada pandangan dunia Tauhid, dengan Tuhan sebagai sentralnya. Sebagaimana pemikiran eksistensialis lainnya, baginya manusia dapat dilihat sebagai being dan becoming. Untuk itu ia menafsirkan kosa kata bahasa arab bashar sebagai being dan insan untuk becoming (h.7).

Untuk berakhlak dengan akhlak Tuhan, manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju Tuhan itu. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi khalifah (wakil) Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa Insan mengandung nilai-nilai etis, sementara basyar mengandung nilai-nilai hewani. Hanya dengan menjadi insan sajalah manusia bisa memaksimalkan atribut ketuhanannya, yaitu kesadaran-diri, kehendak bebas dan kreatifitas. Hanya manusia saja yang bisa bertindak seperti Tuhan, tetapi manusia tidak bisa menjadi Tuhan (h. 110)

Syari’ati menyatakan bahwa manusia harus menjadi manusia yang sebenarnya. Manusia harus menjadi insan, tidak sekedar basyar (mahluk fisiologis). Basyar adalah mahluk yang sekedar ‘berada’ (being), sedangkan insan adalah mahluk yang ‘menjadi’ (becoming). Dalam konteks ini Syari’ati menafsirkan ayat “Inna lillahi wainnailaihi rojiun” (dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya) menyatakan bahwa perjalanan kembali kepada-Nya bukanlah berarti di dalam-Nya atau pada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti, yang segala sesuatu menuju kepadanya.

Manusia yang ‘menjadi’ ini memiliki tiga sifat yang saling berkaitan dan dapat menyesuaikian diri dengan sifat-sifat ketuhanan. Ketiga sifat itu adalah kesadaran-diri (selft-awareness), kehendak bebas (free-will), dan kreativitas (creativiness). (h.36).

Syari’ati dan Marxisme

Ada hubungan cinta-benci antara Syari’ati dan Marxisme (h. 46). Ia menerima analisa Marx tentang kesadaran pertentangan kelas antara kaum penindas dan tertindas, misalnya antara kaum Habil dan kaum Qabil, tetapi terutama bukan antara buruh melawan Kapitalis, tetapi antara dunia ketiga melawan Imperialisme Barat. Sayri’ati juga banyak menggunakan paradigma, kerangka dan analisis Marxis untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Ia berpendapat bahwa Marx hanyalah seorang matrerialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal yang bersifat materi belaka. Namun Syari’ati menyanjung Marx yang jauh lebih tidak “materialistik” ketimbang mereka yang mengklaim “idealis” atau “beriman dan religius”. Prespektif lain, Syari’ati mengecam Marxisme yang mengejawantah dalam partai Sosial dan Komunis.

Syari’ati berusaha menyelesaikan kontradiksi pandangannya itu dengan membagi kehidupan Marx dalam tiga fase. Pertama Marx muda sebagai filosof ateistik yang mengembangkan materialisme dealektis. Kedua, Marx dewasa, seorang ilmuwan sosial yang mengungkapkan bagaimana penguasa mengeksploitasi mereka yang dikuasai. Ketiga Marx tua yang merupakan politisi. Dari tiga fase itu, Syari’ati menerima banyak gagasan dari Marx fase kedua, dan menolak fase pertama dan ketiga.

Syari’ati juga secara terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai “Borjuasi kecil” dan “Depotisme Spiritual”. Di satu pihak, penguasa telah menindas keimanan atas nama Islam Syi’ah, tetapi dipihak lain para ulama tradisional juga harus dikritik karena apatis terhadap kezaliman. Sebagian dari mereka bersikap oportunistik, sebagian lagi bersifat pasif karena mengharapkan Imam yang tersembunyi, Imam Mahdi (h. 22).

Biografi

Ali Syari’ati lahir 23 Nopember 1933 di desa Mazinan, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, propinsi Khorasan Iran dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemakaman Ali Al-Ridha. Kehidupan Syari’ati atau Ali Mazinani berakar di pedesaan dan di sanalah pandangannya pertama kali dibentuk. Guru pertama kalinya adalah ayahnya sendiri yang memutuskan mengajar di kota Masyhad. Pada awal 1940-an, ayah Ali Mazinani mendirikan usaha penerbitan bernama “Pusat Penyebaran Kebenaran Islam” (The Center for Propagation of Islamic Truth) yang bertujuan untuk kebangkitan Islam sebagai agama yang sarat dengan kewajiban dan komitmen sosial. Pada dekade ini, ayah Syari’ati membentuk cabang organisasi Nehzat-I Khodaparastan-I Sosiyalist (The Movement of God-worshiping Socialist, Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis. Ia membahas gagasan pemikir modern, khususnya para pemikir Sosialisme Arab dan sejarahwan Khazrawi, tokoh yang dibenci para Mullah Iran. Karenanya ia dicap sebagai “sunni”, “wahabi”, bahkan “baabisme” oleh beberapa ulama (h. 13). Dari ayahnya inilah semangat non-konvensional – dan oposisi – Ali Mazinani terbentuk.

Sementara dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim adalah sosok ulama yang kisah hidupnya turut menginspirasi Ali Mazinani. Pamannya adalah murid dari ulama terkemuka Adib Nishapuri, yang setelah belajar filsafat, fiqh, dan sastra, – mengikuti jejak leluhurnya – memilih kembali ke Mazinan.

Pada periode 1950-1951, Ali Mazinani seperti ayahnya, bergabung dalam Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis dan mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Mushadiq. Ketika gerakan itu pecah menjadi Liga Kemedekaan Rakyat Iran tahun 1953, ia juga ikut bergabung. Setelah Mushadiq gagal melancarkan kudeta tahun 1953, ia ikut dalam Gerakan Perlawanan Nasionalis (National Resistance Movement). Karena gerakan itulah ia bersama ayahnya dipenjara di rumah tahanan Qazil Qala’ah, Teheran selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan Rezim Syah Reza Pahlevi.

Tahun 1956, Ali Mazinani melanjutkan studi di Fakultas Sastra universitas Masyhad. Tahun 1960 ia mendapat beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Perancis. Di Sorbonne inilah ia menjalin hubungan secara pribadi dengan intelek.

Diringkas dari buku ”Ali Syari’ati, Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern” Ekky Malaky, 2004

Oleh: Faqih Al Asy'ari
Penulis adalah Alumnus Pondok Ngunut, Bantu2 di Averroes, mahasiswa Sosiologi UMM, dan anggota Trotoar House. Mempunyai cita-cita sosial membangun kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan, berbasis kemandirian, berbekal iman dan kearifan lokal. Amiinn.






Ali, the Architect of the Iranian Revolution

One Shari'ati statement is "Man becomes ideal by finding and fighting for humanity, and thus, he found God." While the characteristics of thought Shari'ati by Shahrough Akhlavi is "Religion must be transformed from a personal ethical teachings to the revolutionary program to change the world" (h.119)

Humans as the caliph described by Shari'ati as human individuals be held accountable by God sebegai individual. Therefore, human beings are autonomous individuals, have awareness, have creativity, and have freedom of will. Shari'ati thinking was influenced by Existentialism that emphasize freedom and individual autonomy.

Although emphasizing ethical actions of individuals, Shari'ati states that every individual has the responsibility to change society. Sayri'ati believe that the revolution is driven primarily by moving each individual. Individual movements that will lead to mass movement. This can be seen concretely in the pilgrimage. Shari'ati provide commentary on the hajj emphasis the importance of individual quality, but in the end must be fused with the mass movement. Sayri'ati looked at the revolution can be moved when an individual can perform their respective obligations, which later merged with the mass movement.

Shari'ati and Existentialism

General characteristics of Western existentialism is very pronounced in some views Shari'ati. Views Shari'ati typically discuss the issue of existence based on human attention. Existence is a dynamic, actively create themselves, do, be, and ever-changing plan more or less than a previous state. Humans considered open, the reality of an unfinished (p. 50). If Sartree human limit on Becoming a process to form the essence, Shariati furthermore, that human potential is higher (p. 40). The core ideas begins on Tawhid worldview, with God as central. As with other existentialist thought, her man can be seen as being, and Becoming. For that he interpreted the Arabic vocabulary and Bashar as a human being to Becoming (h.7).

To have a certain character to the character of God, man must always make the process of evolution (Becoming) toward God. Because the only mode in the human form alone Insan obtaining freedom and got the mandate became caliph (deputy) of God. Insan Shari'ati states that contain ethical values, while Basyar contain animal values. Just by being human beings alone can make the attribute divinity, namely self-consciousness, free will and creativity. Only people who can act like God, but humans can not become God (p. 110)

Shari'ati states that man should become a real human being. Human beings should be, not just Basyar (physiological beings.) Basyar is a creature that just 'being' (being), while the man is a creature who 'became' (Becoming). In this context Shari'ati interpret the verse "Inna lillahi wainnailaihi rojiun" (and indeed we will back to Him) says that the journey back to Him is not meaningful in Him or in Him. That is, God is not the freezing point or a definite direction, which all things toward him.

Man who 'to' It has three inter-related nature and can menyesuaikian themselves with divine qualities. All three properties are self-awareness (selft-awareness), free will (free-will), and creativity (creativiness). (H.36).

Shari'ati and Marxism

There is a love-hate relationship between Shari'ati and Marxism (p. 46). He accepted Marx's analysis of consciousness of class conflict between the oppressors and the oppressed, for example between the Abel and of Cain, but especially not between the workers against the capitalists, but between the third world against Western Imperialism. Sayri'ati also widely used paradigms, frameworks and Marxist analysis to explain the development of society. He argues that Marx was a genuine matrerialis that views human beings as creatures who are drawn to things that are purely material. However Shari'ati a much flatter Marx did not "materialistic" than those who claim to "idealistic" or "faithful and religious." Another perspective, Shariati denounced Marxism which manifest in the Social and the Communist party.

Shari'ati trying to resolve the contradiction with his view that Marx's life divides into three phases. First the young Marx as a philosopher who developed the atheistic materialism dealektis. Second, the mature Marx, a social scientist who reveal how they exploit the ruler-ruled. The three old Marx is a politician. Of the three phases, Shariati received many ideas from Marx's second phase, and reject the first and third phases.

Shari'ati also openly criticized the conventional scholar describes as "small bourgeoisie" and "Spiritual Depotisme." On the one hand, the oppressive rulers have faith in the name of Shi'ite Islam, but on the other hand the traditional clergy should also be criticized for being apathetic towards tyranny. Some of them being opportunistic, others are passive because they expect the hidden Imam, Imam Mahdi (p. 22).

Biography

Ali was born November 23, 1933 at Mazinan rural, suburban and Sabzavar Mashhad, Khorasan province of Iran with a small name Muhammad Ali Mazinani. His father, Muhammad Taqi Shari'ati is a scholar who has a long lineage of family scholars of Mashhad, a city where funerals Ali al-Rida. Life Shari'ati or Ali Mazinani rooted in the countryside and it was there first formed his views. Master the first time is his own father who decided to teach in the city of Mashhad. In the early 1940s, Ali's father founded the business publishing Mazinani named "Center Spread the Truth of Islam" (The Center for Propagation of Islamic Truth) which aims for revival of Islam as a religion that is full of obligations and social commitment. In this decade, the father Shari'ati establish branch organizations Khodaparastan Nehzat-I-I Sosiyalist (The Movement of God-worshiping Socialist, Socialist Movement of worshiping God. He discusses the ideas of modern thinkers, especially Arab thinkers and historians Khazrawi Socialism, the hated figure Mullahs of Iran. So he was labeled as "Sunni", "Wahhabis", even "baabisme" by some scholars (p. 13). From his father is the spirit of non-conventional - and opposition - Ali Mazinani formed.

Meanwhile, the mother, her grandfather, Judge Akhun cleric who is the figure of his life story helped inspire Ali Mazinani. His uncle was a disciple of the leading scholars Nishapuri Adib, who after studying philosophy, jurisprudence, and literature, - ancestral trail - choose to return to Mazinan.

In the period 1950-1951, Ali Mazinani like his father, joined in worshiping the Lord Socialist Movement and followed the nationalist movement led by Prime Minister Muhammad Mushadiq. When the movement split into the Iranian People Kemedekaan League in 1953, he also joined. After Mushadiq failed coup in 1953, he participated in the Nationalist Resistance Movement (National Resistance Movement). Because the motion that he and his father was imprisoned at the detention Qazil Qala'ah, Tehran for 8 months as a result of his opposition movement against the regime of Shah Reza Pahlevi.

In 1956, Ali Mazinani continue his studies in the Faculty of Letters University of Mashhad. In 1960 he received a scholarship from the Iranian government and continue their education at the University of Sorbonne, France. At the Sorbonne he is a personal relationship with the intellect.

Summarized from the book "Ali, philosopher, Ethics and the Architect of Modern Iran" Ekky Malaky, 2004

By: Faqih al-Ash'ari
The writer is a graduate of Pondok Ngunut, Bantu2 in Averroes, Sociology UMM students, and members of the House sidewalk. Having social ideals to build economic self-reliance of rural communities, based on independence, armed with faith and local wisdom. Amiinn. 

*******

"Orang pintar mudah menilai orang lain, apalagi untuk menilai orang yang tidak pintar". Pertama, Rasulullah plus (1) plus Para Imam yang diutus pastinya benar 100 % ketika menilai siapapun sedangkan orang-orang yang konsekwen mengikuti atau meneladani Rasulullah saww dapat dipastikan identik dengan kemampuan para Imam dalam  menilai orang lain (baca 99 %). Sebaliknya orang yang kapasitas daya pikirnya berada dibawah kapasitas orang yang hendak dinilainya, besar kemungkinan akan melenceng ketika memberikan penilainnya. Dalam kontek berpikir seperti ini saya yakin bahwa banyak orang yang melenceng ketika menilai Al Marhum Syahid DR Ali Syariati. Sebahagian pengamat ada yang mengira  bahwa Syariati adalah Islam Marxis, Islam Sosialis, Sufi yang revolusioner dan sebagainya. Andaikata ditulis dalam tanda petik, pastinya dapat diterima. Saya akan menilai Syariati sebagaimana Syariati sendiri menilai Fatimah az Zahara: "......tidak ada satupun penilaian saya yang benar terhadap Fatimah. Yang benar, Fatimah adalah.Fatimah" .  Syariati bukan Islam Marxis, Syariati bukan Islam Sosialis dan Syariati bukan Sufi Revolusioner tetapi "Syariati adalah Syariati"(hsndwsp)

*******  

"Melarikan diri dari kesepian, kutekuni sejarah; segera kucari saudaraku Ain Al-Quzat. Pada puncak perkembangan usia remajanya dia harus menjalani hukuman bakar hidup-hidup. Kesalahannya: memiliki kesadaran, kepekaan dan keberanian berpikir. Dalam masa kejahilan kesadaran memang merupakan dosa. Dalam masyarakat tertindas lagi tehina keluhuran jiwa serta kekuatan kalbu, sebagaimana kata Buddha, 'menjadi sebuah pulau di negeri danau', adalah dosa tanpa ampun".

Ali Syari'ati - Mukaddimah dalam Kavir (Gurun Pasir)
dikutip dari - Ali Syari'ati, "Tentang Sosiologi Islam", Ananda, Yogyakarta, 1982

Ain Al-Quzat Hamadani adalah seorang sufi Parsi yang dihukum di Baghdad pada tahun 1132 M, atas tuduhan menyebarkan bid'ah. Seperti halnya "saudara" yang dikaguminya itu, Syari'ati pun dihukum oleh rezim Pahlevi yang panas kuping oleh pidato dan ceramah-ceramahnya, baik di kampus maupun di masjid. Tekanan yang luas dari penduduk Iran dan seruan internasional akhirnya mengakhiri masa penjaranya selama 18 bulan. Ia dilepaskan oleh pemerintah pada 20 Maret 1975 dengan syarat-syarat khusus yang menyatakan bahwa ia tidak boleh mengajar, menerbitkan, atau mengadakan pertemuan-pertemuan, baik secara umum maupun secara pribadi. Aparat keamanan negara, SAVAK, juga mengamati setiap gerakannya dengan cermat.

Shari'ati pun menolak syarat-syarat ini dan memutuskan meninggalkan negaranya serta pergi ke Inggris. Namun, rezim Syah Pahlevi tidak menghendaki dia ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, lalu menawan istri dan anak Ali Syari’ati, yang ditinggalkannya dengan penuh kepedihan. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.

Muncul spekulasi kemudian, bahwa ia dibunuh oleh agen-agen SAVAK, atau bahkan oleh para pendukung Ayatollah Khomeini yang fanatik, yang menganggap sepak terjang serta pikiran-pikiran Syari'ati yang anti terhadap feodalisme, telah menodai kewibawaan sang Ayatollah.

Itulah Ali Syari'ati, seperti halnya "saudara" nya, iapun telah menempatkan kebenaran pada tempatnya yang layak. Ia lah sang sufi yang revolusioner itu. Seorang sufi memang seharusnya juga seorang yang revolusioner! Begitulah seruannya berulang kali. Dia telah menempatkan dirinya sendiri di sana! Dan dia tidak munafik dengan apa yang dikatakannya.

-Yoga-

http://ismail-asso.blogspot.com

Tidak ada komentar: