SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

15 Februari 2012

BUKTINYA BERIMAN SESEORANG TIDAK CUKUP DENGAN PERNYATAAN LIDAH SAJA MELAINKAN APLIKASI DI ALAM NYATA SEBAGAI BUKTI IMAN SUDAH BERSEMI DI HATI (DEFINISI IMAN) II


KETIKA NABI DITOLONG 5 ORANG NASRANI, DIMANAKAH GERANGAN
PARA SAHABAT NABI?
(Peristiwa di Syi’b Abu Thalib)
II

Bismillaahirrahmaanirrahiim

"Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada mereka): "Kamu belum beriman,tetapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. 49:14)




LANJUTAN DARI BAGIAN 1



Berikut adalah laporan dari Ibnu Ishaq (penulis sejarah masa awal yang karyanya dianggap paling tua dalam sejarah penulisan sejarah Islam):



Bani Hasyim dan Bani Al-Muthalib menetap di Syi’ib (lembah pegunungan) setelah kaum Qurays membuat perjanjian untuk memboikot mereka. Kemudian beberapa anggota suku Qurays sendiri bangkit untuk mengakhiri pemboikotan terhadap mereka. Tak seorangpun pernah menghadapi kesulitan yang lebih berat daripada (yang dialami) Hisyam bin Amr……………….dikarenakan ia adalah putra saudara Nadha bin Hasyim bin Abdul Manaf dari jalur ibunya yang dengan demikian memiliki kedekatan hubungan dengan Bani Hasyim. Ia sangat disegani masyarakat. Saya pernah mendengar kabar bahwa tatkala kedua klan tersebut tinggal di lembah, ia seringkali membawa seekor unta bermuatan makanan di malam hari dan kemudian—setelah tiba di mulut lembah, ia melepaskan tali kekang untanya itu seraya memukul pinggangnya, sehingga unta itu berlari menyusuri jalan setapak menuju lembah tempat mereka tinggal. Ia akan berbuat hal yang sama pada kesempatan lain dengan membawakan pakaian bagi mereka


.
Ia pergi menemui Zuhair bin Abu Umayyah bin al-Mughirah yang ibunya bernama Atikah yang merupakan saudara Abdul Muthalib, dan berkata, ‘Pantaskah engkau makan makanan dan mengenakan pakaian bagus-bagus sementara engkau tahu bahwa paman-pamanmu dari garis keturunan ibumu sedang berada dalam kondisi kelaparan dan telanjang? Mereka tak sanggup melakukan jual-beli atau melangsungkan pernikahan antar klan. Demi Allah, bila mereka itu adalah paman-paman dari Abu al-Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) dan engkau memintanya melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ia minta engkau melakukannya (melakukan boikot), niscaya ia takkan pernah sudi melakukannya.’ Zuhayr berkata, ‘Terkutuklah engkau wahai Hisyam. Apa yang dapat aku lakukan? Aku hanya sendirian. Demi Allah, bila ada seseorang yang berdiri di belakangku, aku akan segera membatalkan perjanjian itu. ‘Aku sendiri bersamamu,’ kata Hisyam. ‘Cari lagi yang lain,’ sahut Zuhayr. Kemudian Hisyam pergi menemui al-Mu’tam bin Adi seraya berkata, ‘Aku kira engkau takkan suka melihat dua kelompok (Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib) keturunan Abdul Manaf itu, dimana engkau salah satu anggotanya, harus binasa. Kalau engkau menyukainya, berarti engkau tergolong orang yang mengikuti kaum Qurays. Engkau akan segera menjumpai bahwa mereka akan segera melakukan hal yang sama kepadamu.’ Ia (Mu’tam) mengemukakan jawaban yang senada dengan Zuhayr seraya meminta orang keempat.



Lalu Hisyam pergi menemui Abu al-Bukhtari bin Hisyam yang memintanya mencari orang kelima. Kembali Hisyam menemui Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muthalib (yang juga memintanya mencarikan orang keenam), seraya mengingatkan tentang kekerabatannya (dengan Bani al-Muthalib) dan kewajiban-kewajibannya. Ia menanyakan apakah yang lain mau bekerja sama dalam melakukan tugas ini. Hisyam lalu menyebutkan kepadanya nama-nama yang lain. Akhirnya, mereka sepakat untuk bertemu pada malam hari di Hujun, sebelah atas kota Mekkah. Sewaktu bertemu satu sama lainnya, mereka sama-sama untuk tidak membicarakan persoalan dokumen tersebut hingga mereka berhasil merobek nya ……… …………


Keesokan harinya, tatkala para penduduk telah berkumpul, Zuhayr mengenakan jubahnya dan bergegas pergi mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali; kemudian tampil di depan seraya berkata, ‘Wahai para penduduk kota Mekkah, layakkah bila kita makan makanan dan mengenakan pakaian yang nyaman sementara Bani Hasyim perlahan-lahan binasa, lantaran tak sanggup membeli atau menjual sesuatu bagi kebutuhannya? Demi Tuhan, aku tidak akan diam sampai dokumen pemboikotan durjana ini disobek!’
Abu Jahal kontan berteriak, ‘Engkau berdusta! Dokumenitu takkann pernah disobek.’



Zam’ah berkata, ‘Engkaulah pendusta besar! Kami tak menginginkan dokumen ini bahkan semenjak ia pertama kali disusun dan ditanda-tangani’. Abu al-Bukhtari berkata, ‘Zam’ah memang benar. Kami tidak puas dengan isi dokumen ini tatkala ia ditulis, dan sekarang pun kami tetap tidak puas.’



Al-Mu’tam menambahkan, ‘Kalian berdua benar, dan siapa pun yang mengatakan sebaliknya adalah seorang pendusta. Allah menjadi saksi bahwa kami berlepas tangan dari seluruh gagasan yang tertuang dalam dokumen tersebut!’ Hisyam mengatakan hal yang sama dan mendukung teman-temannya.



Al-Mu’tam lalu bergegas hendak mencabut dokumen itu dan merobek-robeknya. Ia menjumpai bahwa lembaran dokumen itu telah habis dimakan rayap, kecuali kalimat, ‘Dengan nama Allah.’ Kaum Qurays memang terbiasa memulai tulisan mereka dengan kalimat tersebut. Adapun penulis dokumen tersebut adalah Manshur bin Ikrimah.



Al-Mu’tam bin Adi kemudian merobek-robek dokumen keji kaum Qurays itu. Serpihan-serpihannya lalu berserakan di mana-mana dan berterbangan ditiup angin sehingga tak ada yang tersisa. Tindakan ini me nunjukkan keyakinan dan keberanian—keyakinan bahwa Bani Hasyim adalah para korban tak berdosa dari ketidak-adilan, permusuhan, dan penyingkiran; dan keberanian untuk menghadapi kaum Qurays. Tin dakan (Hisyam) yang berani itu menjadi sinyal berakhirnya tragedi pengucilan Bani Hasyim. Sejak itulah, para anggota Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib dapat kembali pulang ke kota. Al-Mu’tam sendiri de ngan disertai seorang ksatria dari klannya menunggang kuda dan pergi menuju lembah dengan mengenakan pakaian perang untuk menjemput orang-orang Bani Hasyim dan Bani al-Muthalib, kemudian mengantarkan mereka kembali pulang ke rumahnya masing-masing di Mekkah.”



Sejarahwan kontemporer bernama Dr. Muhammed Hamidullah menuliskan sebagai berikut:
“Setelah tiga tahun berlalu, empat atau lima orang non-Muslim, sekalipun masing-masing masing-masing berasal dari klan yang berbeda, melakukan tindakan keji yang jauh lebih manusiawi ketimbang yang lain; menyatakan terang-terangan di hadapan publik mengenai keberatan mereka terhadap pemboikotan yang sangat tidak adil itu”



(LIHAT: Introduction to Islam / Salimiah, Kuwait: The International Islamic Federation of Student Organization, 1977, halaman 10.)


'
Dr. Hamidullah mengatakan bahwa kegagalan pemboikotan terhadap Rasulullah dan keluarganya karena adanya “4 atau 5 orang non-Muslim” yang lebih memiliki rasa kemanusiaan dibandingkan dengan orang lainnya di kota Mekkah (termasuk juga para sahabat Nabi yang sampai berakhirnya masa pemboikotan itu tidak juga menampakkan batang hidungnya)



Pertanyaan yang mengemuka seterusnya ialah:
Apakah mereka lebih manusiawi bahkan ketimbang Muslimin yang (saat itu) tinggal di kota Mekkah?
Apakah mereka lebih manusiawi dibandingkan dengan para sahabat Nabi?
Di luar dugaan kita……………jawabannya memang YA!



Selain ke LIMA orang itu, ternyata tidak ada orang lain yang (terdorong dengan rasa kemanusiaannya) mau melakukan pembelaan terhadap Bani Hasyim.



Masih tersisa satu pertanyaan lain yaitu:
Mengapa Zuhayr menganggap dirinya hanya sendirian?



Hisyam pertama kali membicarakan masalah pembatalan perjanjian kaum musyrikin untuk memboikot Bani Hasyim, kepada temannya, Zuhayr. Pada saat itu, Hisyam mencemoohnya dikarenakan ia (Zuhayr) tidak ikut merasakan penderitaan yang dialami Bani Hasyim di pengasingan, dan atas kegagalannya dalam mengakhiri penderitaan tersebut. Kemudian Zuhayr menyahut, “Celakalah engkau wahai Hisyam. Apa yang dapat aku lakukan? Aku hanya sendirian. Demi Allah, bila ada seseorang yang berdiri di belakangku, aku akan segera membatalkan perjanjian itu.”



Jawaban Zuhayr itu terlihat menyiratkan sesuatu. Mengapa ia menganggap dirinya sendirian? Mengapa saat itu ia tidak berusaha untuk mencari dukungan beberapa Muslimin yang tinggal di kota Mekkah? Padahal, menurut para sejarawan, beberapa Muslimin di Mekkah merupakan orang-orang yang punya kedudukan penting dan sangat berkuasa di hadapan kaum musyrikin. Namun, untuk beberapa alasan yang sangat misterius dan mencurigakan, Zuhayr atau beberapa temannya tidak berusaha untuk merekrut Muslimin tersebut ke dalam “tim kerja” yang mereka bentuk demi mengakhiri pengucilan Bani Hasyim.



Usaha Zuhayr dan teman-temannya akhirnya memang membuahkan hasil; Bani Hasyim (juga Bani al-Muthalib) pun kembali pulang ke kota. Namun lewat tindakannya itu, mereka telah menunjukkan bahwa Muslimin yang tinggal di Mekkah tidak diperlukan (tidak penting bagi) Muhammad maupun Islam.



SUNGGUH MIRIS MELIHAT KENYATAAN SEJARAH. PARA SAHABAT SENIOR TERNYATA SAMA SEKALI TIDAK PUNYA ARTI DALAM PEMBELAAN TERHADAP ISLAM. MEREKA ADA TAPI TIADA. ADANYA MEREKA TAK MEMBUAT JUMLAH GENAP. TIADANYA MERE KA TIDAK MEMBUAT KEADAAN MENJADI GANJIL. MEREKA SEPERTI BUIH DI LAUTAN. BANYAK TAPI TAK BERARTI.



Inilah paradoks yang paling gamblang dalam sejarah Islam. Ternyata tangan yang menyambar dan merobek-robek lembar perjanjian kaum kafir (hingga berbentuk serpihan kecil) untuk mengucilkan dan memboikot Bani Hasyim ternyata bukan tangan “Orang Beriman”, melainkan tangan orang-orang yang kita sebut dengan “Orang tidak beriman”; tangan orang semacam Mu’tam bin Adi!



Bukan hanya Mu’tam, keempat temannya yaitu Hisyam bin Amr, Zuhayr bin Abu Umayyah, Abu al-Bukhtari bin Hisyam, dan Zam’ah bin al-Aswad juga bukanlah orang-orang Muslim. Beberapa sejarawan meyakini mereka adalah kaum Nasrani. Namun demikian kelimanya adalah para ksatria berbudi luhur yang tidak menyetujui ketidak adilan yang ditimpakan kepada Bani Hasyim. Mereka tidak mau tinggal diam sampai keadilan tegak di tengah kota Mekkah.



Secara teknis, kelima ksatria tersebut memang bukan Muslim. Namun mereka sendiri memiliki ketabahan dan inisiatif untuk menjunjung prinsip yang sangat Islami,yaitu prinsip keadilan. Ya, mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Dan dikarenakan tindakan heroik tersebut, nama mereka pun diabadikan dengan tinta emas dalam sejarah Islam.


Di pihak lain, Muslimin (yang tetap tinggal di Mekkah)—yang notabene adalah para sahabat senior—bukan hanya tidak berbuat apa-apa; mereka bahkan tidak melancarkan protes apapun terhadap kekejian dan sikap otokratis kaum Qurays dalam mengusir Bani Hasyim dari Mekkah. Selama tiga tahun, sungguh tak dapat dipercaya, mereka tetap bungkam seribu bahasa dan membiarkan pemboikotan terus berlangsung. Tindakan mereka itu tampaknya dipengaruhi oleh sikap hati-hati yang berlebihan (atau sikap pengecut berlebihan).


Boleh jadi, upaya mereka itu dimaksudkan untuk menanti celah kesempatan, seraya mencermati lintasan pelbagai peristiwa'; mereka tak ubahnya seperti para pengamat yang bersikap netral. Sungguh memalukan dan memilukan.


Siapakah yang membuang Abu Dzar Ghifari bersama Isteri dan putrinya hingga mati dalam kelaparan? Apabila seseorang tergerak hatinya untuk menganalisa, niscaya akan menemui jalan hidup yang benar di Dunia ini:
http://www.youtube.com/watch?v=CUxMvVDRyVk&feature=endscreen

http://ismail-asso.blogspot.com

Tidak ada komentar: