STOP SELEKSI PEMILHAN ANGGOTA MRP
Oleh : Ismail Asso*
Seleksi Anggota MRP Inkunstitusional?
Proses rekruitman anggota MRP tahun 2010-2015 oleh Panitia saat ini yang dilakukan buru-buru dan sembunyi-sembunyi dari hotel-ke hotel, sebaiknya dihentikan dulu untuk sementara.
Karena semua pihak yang terlibat didalamnya terkesan ingin mempertahankan dominasi dan egoisme, dapat merugikan penduduk pribumi Papua sebagaimana harusnya (Das Sein) UU Perdasus MRP mau dimaksudkan yakni melindungi, memelihara dan mengembangkan Rakyat Asli Papua.
Dalam pelaksanaan yang berjalan saat ini kita saksikan dan ikuti bersama ternyata banyak didapati fakta bahwa proses pelaksanaan pemilihan anggota MRP jauh dari maksud dan tujuan institusionalisasi (terlembagakannya) MRP itu sendiri sebagai lembaga perlindungan rakyat Pribumi Papua.
Para pihak yang terlibat langsung dalam pembuatan UU Perdasus MRP baik Pusat dan Daerah jangan mempertahankan dominasi kepentingan dengan menyelipkan masuknya pasal-pasal syarat UU Perdasus MRP yang aneh dan irrasional yang itu pada akhirnya merugikan Rakyat Pribumi Papua.
Usaha Ormas yang memberi masukan agar tetap mempertahankan hegemoni mereka ditengah rakyat Asli Papua harus dihentikan agar jangan lagi memberi masukan destruktif (menghancurkan) yang itu dapat menyebabkan melencengnya MRP dari tujuan awal. Ormas tidak boleh lagi menyelipkan masukan perubahan beberapa pasal dan ayat UU Perdasus, yang akhirnya semua jadi rancu.
Misalnya hal itu sudah terjadi pada syarat-syarat penetapan calon anggota MRP diduga keras para pihak banyak menyelipkan masukan-masukan beberapa pasal dan ayat UU Perdasus MRP sebagai bagian dari persaingan antar ormas dan itu dilakukan ditengah jalan membuat banyak kerancuan bagi semua pihak.
Kenyataan ini telah terjadi karena penulis saksikan langsung tatkala, Ketua MRP, Agus Alue Alua : ‘marah-marah’ soal adanya kasus seperti itu pada saat sosialisasi pemilihan anggota MRP keseluruh Bupati-Bupati se- Tanah Papua yang dihadiri Gubernur Propinsi Papua Barat dan Papua berpempat di Kantor Gubernur Propinsi Papua Dok II yang diselenggarakan oleh Kesbangpol.
Intervensi dalam bentuk apapun dan oleh pihak manapun dalam pembuatan UU Perdasus MRP sesungguhnya sangat merugikan Rakyat Pribumi Papua. Karena itu seharusnya semua pihak tidak dapat menambah, mengurangi apalagi merubah maksud dan tujuan UU Perdasus MRP kalau itu bermaksud menghilangkan kekhususan Papua.
Karena “tujuan baik” terbentuknya MRP dilatarbelakangi oleh keinginan tak tertahankan lagi rakyat Papua keluar dari NKRI. Maka Otsus Papua yang didalamnya adalah pembentukan MRP sebagai wadah perlindungan, pemeliharaan, penjagaan dan pengembangan keunikan Papua ditengah-ditengah bangsa Indonesia.
Undang-Undang Peraturan Daerah Khusus (UU Perdasus) MRP seharusnya, jadi sesungguhnya, dimaksudkan dalam rangka memelihara, melindungi dan mengembangkan keunikan khusus Papua itu ditengah bangsa Indonesia didalam NKRI.
Maka pihak-pihak yang terlibat (baik Pusat maupun Daerah sebagai pelaksana tekhnis keinginan pusat itu) dalam usaha perlindungan ini, maka harus sadar bahwa yang terpenting dan terutama adalah perlindungan masyarakt adat Papua. Jangan karena kepentingan sesaat lalu tidak saling mengakui dan mengesampingkan atas aturan UU yang dibuatnya karena itu dapat dianggap melanggar konstitusi. Kalau tidak sesungguhnya pemerintah melawan konstitusi yang dibuatnya sendiri.
Karena kenyataan yang terjadi saat ini ada indikasi bahwa dalam pemilihan anggota MRP yang sejak awal sembunyi-sembunyi dan buru-buru dari hotel-kehotel itu pada prakteknya antara pusat dan daerah saling mengesampingkan aturan UU mana yang harus digunakan sebagai ajuan dan rujukan dalam tekhnis pelaksanaan pemilihan anggota MRP periode tahun 2010-2015 ini.
Itu sama artinya bahwa semua pihak tidak taat UU. Maka anggota MRP yang akan direkrut sesungguhnya inkonstitusional, jikapun terpilih maka hasilnya itu illegal.
Karena itu seharusnya Mendagri dan pemerintah Papua jangan sampai melanggar konstitusi. Misalnya dengan alasan limit waktu dan mengejar target pelaksanaan Pilkada Papua tahun 2011, lalu seakan boleh menabrak semua rambu yang dibuat untuk kepentingan keutuhan rakyat Papua sendiri.
Sebab dalam kenyataanya kita saksikan saat ini panitia seleksi lebih khusus dan rakyat Papua pada umumnya dibuat bingung kalau harus mengejar dead line sesuai radiogram Mendagri. Muncul pertanyaan dibenak semua pihak MRP untuk kepentingan siapa? Bukankah MRP sebagai institusi refresentasi cultural rakyat Papua?
Sebagai akibat buruknya yang terjadi pada tingkat pelaksana tekhnis misalnya Komwilpil (Komisi Wailyah Pemilihan) harus pakai aturan mana untuk dijadikan rujukan (pegangan) hukum syarat dalam system rekruitman anggota MRP, antara UU Peradsus MRP tanggal 25 November tahun 2010 ataukah SK Revisi Mengadri No 4 tanggal 13 Januari 2011 yang baru?
Komwilpil dalam sosialisasinya kemarin (Jum’at 28 Januari 2011) di Hotel Port Numbay menyatakan akan menggunakan UU Peradsus lama dengan sejumlah alasan masuk akal dan memiliki argumentasi konstitusional.
Jika begitu kenyataanya yang ada terjadi saat ini maka siapa yang harus disalahkan? Dalam filsafat hukum ada istilah Das Sein dan Das Sollen. Istilah yang pertama dimaksudkan adalah yang seharusnya ada.
Misalnya MRP sebagai refresentasi cultural Rakyat Pribumi seharusnya dilibatkan langsung, mulai dari keterwakilan pembuatan UU sampai pada penyelenggara MRP sepenuhnya harus dilakukan oleh orang Pribumi Papua tanpa intervensi pihak manapun dan kepentingan siapapun selain untuk kepentingan perlindungan, pengembangan dan pemeliharaan Orang Pribumi Papua sesuai amanat UU Otsus No 21 tahun 2002.
Namun kenyataanya yang ada (Das Sollen) kita saksikan bersama apa yang sedang sudah dan akan terjadi. Berbagai aksi demo yang dipimpin tokoh-tokoh agama dan tokoh pemuda agar pemerintah membubarkan MRP, menghentikan proses pemilihan anggota MRP, pemerintah harus jawab 11 rekomendasi dll hanya ‘tampias’ diatas tembok DPRP Imbi tanpa makna.
Masalahnya adalah siapa yang sesungguhnya memporakporandakan semua tatanan UU Otsus Papua yang disusun indah dari BAB ke Pasal hingga ayat-ayat manis itu menjadi racun dan mematikan aspirasi rakyat Papua itu hingga menurunkan kehormatan dan kewibawaan orang Papua dalam menyelenggarakan pemerintahan sendiri (otonom) saat ini? Kenapa dalam kenyataannya banyak intervensi “iblis” dijalanan hingga di pusat?
Rakyat kecil binggung karena tidak ada ketentuan hukum tetap sebagai pegangan penyelenggaraan panitia. Karena dalam sosialisasi rekruitman calon anggota MRP bersama KOMWILPIL kemarin (Jum’at 28/1/2011) dihotel Port Numbay Jayapura, Komwilpil tetap mau menggunakan aturan UU Perdasus pra revisi.
Hal ini banyak menimbulkan reaksi dan protes berbagai pihak umat beragama Propinsi Papua mengenai sejumlah persyaratan menyangkut hak dan kewajiban yang dianggap menjadi pemicu kacau-balaunya system rekruitman seleksi anggota MRP.
Karena itu panitia penyelenggara bekerja buru-buru mengejar target saat ini sebaiknya segera menghentikan semua proses aktifitas seleksi sebelum ada kepastian hukum mengikat sebagai landasan/pegangan panitia. Jika tidak sesungguhnya panitia penyelenggara anggota MRP tahun 2010-2015 bekerja diatas system aturan tidak pasti dan yang kacau balau.
Oleh sebab itu agar tidak terkesan maling-teriak maling panitia penyelenggara sebaiknya diperintahkan agar menghentikan proses seleksi anggota MRP yang terkesan buru-buru. Mengapa? Karena panitia bekerja diatas pijakan ketidakpastian aturan sebagai pegangan.
Sebagai akibatnya yang dirugikan adalah masyarakat Adat Papua. Tapi Panitia juga binggung yang mau dijadikan pijakan aturan mana, apakah UU Perdasus MRP lama atau SK revisi Kemendagri? Sistem kacau-balau dan tupang tindih tanpa pijakan aturan kepastian hukum sebagai pijakan proses penyelenggaraan rekruitman anggota MRP. Malah Panitia penyelenggara rekruitman anggota MRP bekerja diatas pijakan hukum (aturan) yang tidak jelas sebagai pegangan.
Semua system tumpang tundih dalam antara satu aturan dan aturan lain seperti halnya terjadi dalam proses pelaksanaan pemilihan anggota MRP di Papua. Karena UU PERDASUS MRP tahun 2010 dibuat buru-buru tanpa ada koreksi dan uji public sehingga antar satu pasal dan pasal lain dan satu ayat dan ayat lain rancu dan kacau balau.
SK KEMENDAGRI No 4 tahun 2011, hasil revisi UU Perdasus MRP bisa diabaikan KOMWILPIL MRP, muncul pertanyaan dibenak penulis; Siapa sebenarnya salah dalam hal ini sesungguhnya? Semua pihak harus bertanggungjawab!
*** *** **
*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPTP). Kontak HP : 081383418655
http://ismail-asso.blogspot.com
Oleh : Ismail Asso*
Seleksi Anggota MRP Inkunstitusional?
Proses rekruitman anggota MRP tahun 2010-2015 oleh Panitia saat ini yang dilakukan buru-buru dan sembunyi-sembunyi dari hotel-ke hotel, sebaiknya dihentikan dulu untuk sementara.
Karena semua pihak yang terlibat didalamnya terkesan ingin mempertahankan dominasi dan egoisme, dapat merugikan penduduk pribumi Papua sebagaimana harusnya (Das Sein) UU Perdasus MRP mau dimaksudkan yakni melindungi, memelihara dan mengembangkan Rakyat Asli Papua.
Dalam pelaksanaan yang berjalan saat ini kita saksikan dan ikuti bersama ternyata banyak didapati fakta bahwa proses pelaksanaan pemilihan anggota MRP jauh dari maksud dan tujuan institusionalisasi (terlembagakannya) MRP itu sendiri sebagai lembaga perlindungan rakyat Pribumi Papua.
Para pihak yang terlibat langsung dalam pembuatan UU Perdasus MRP baik Pusat dan Daerah jangan mempertahankan dominasi kepentingan dengan menyelipkan masuknya pasal-pasal syarat UU Perdasus MRP yang aneh dan irrasional yang itu pada akhirnya merugikan Rakyat Pribumi Papua.
Usaha Ormas yang memberi masukan agar tetap mempertahankan hegemoni mereka ditengah rakyat Asli Papua harus dihentikan agar jangan lagi memberi masukan destruktif (menghancurkan) yang itu dapat menyebabkan melencengnya MRP dari tujuan awal. Ormas tidak boleh lagi menyelipkan masukan perubahan beberapa pasal dan ayat UU Perdasus, yang akhirnya semua jadi rancu.
Misalnya hal itu sudah terjadi pada syarat-syarat penetapan calon anggota MRP diduga keras para pihak banyak menyelipkan masukan-masukan beberapa pasal dan ayat UU Perdasus MRP sebagai bagian dari persaingan antar ormas dan itu dilakukan ditengah jalan membuat banyak kerancuan bagi semua pihak.
Kenyataan ini telah terjadi karena penulis saksikan langsung tatkala, Ketua MRP, Agus Alue Alua : ‘marah-marah’ soal adanya kasus seperti itu pada saat sosialisasi pemilihan anggota MRP keseluruh Bupati-Bupati se- Tanah Papua yang dihadiri Gubernur Propinsi Papua Barat dan Papua berpempat di Kantor Gubernur Propinsi Papua Dok II yang diselenggarakan oleh Kesbangpol.
Intervensi dalam bentuk apapun dan oleh pihak manapun dalam pembuatan UU Perdasus MRP sesungguhnya sangat merugikan Rakyat Pribumi Papua. Karena itu seharusnya semua pihak tidak dapat menambah, mengurangi apalagi merubah maksud dan tujuan UU Perdasus MRP kalau itu bermaksud menghilangkan kekhususan Papua.
Karena “tujuan baik” terbentuknya MRP dilatarbelakangi oleh keinginan tak tertahankan lagi rakyat Papua keluar dari NKRI. Maka Otsus Papua yang didalamnya adalah pembentukan MRP sebagai wadah perlindungan, pemeliharaan, penjagaan dan pengembangan keunikan Papua ditengah-ditengah bangsa Indonesia.
Undang-Undang Peraturan Daerah Khusus (UU Perdasus) MRP seharusnya, jadi sesungguhnya, dimaksudkan dalam rangka memelihara, melindungi dan mengembangkan keunikan khusus Papua itu ditengah bangsa Indonesia didalam NKRI.
Maka pihak-pihak yang terlibat (baik Pusat maupun Daerah sebagai pelaksana tekhnis keinginan pusat itu) dalam usaha perlindungan ini, maka harus sadar bahwa yang terpenting dan terutama adalah perlindungan masyarakt adat Papua. Jangan karena kepentingan sesaat lalu tidak saling mengakui dan mengesampingkan atas aturan UU yang dibuatnya karena itu dapat dianggap melanggar konstitusi. Kalau tidak sesungguhnya pemerintah melawan konstitusi yang dibuatnya sendiri.
Karena kenyataan yang terjadi saat ini ada indikasi bahwa dalam pemilihan anggota MRP yang sejak awal sembunyi-sembunyi dan buru-buru dari hotel-kehotel itu pada prakteknya antara pusat dan daerah saling mengesampingkan aturan UU mana yang harus digunakan sebagai ajuan dan rujukan dalam tekhnis pelaksanaan pemilihan anggota MRP periode tahun 2010-2015 ini.
Itu sama artinya bahwa semua pihak tidak taat UU. Maka anggota MRP yang akan direkrut sesungguhnya inkonstitusional, jikapun terpilih maka hasilnya itu illegal.
Karena itu seharusnya Mendagri dan pemerintah Papua jangan sampai melanggar konstitusi. Misalnya dengan alasan limit waktu dan mengejar target pelaksanaan Pilkada Papua tahun 2011, lalu seakan boleh menabrak semua rambu yang dibuat untuk kepentingan keutuhan rakyat Papua sendiri.
Sebab dalam kenyataanya kita saksikan saat ini panitia seleksi lebih khusus dan rakyat Papua pada umumnya dibuat bingung kalau harus mengejar dead line sesuai radiogram Mendagri. Muncul pertanyaan dibenak semua pihak MRP untuk kepentingan siapa? Bukankah MRP sebagai institusi refresentasi cultural rakyat Papua?
Sebagai akibat buruknya yang terjadi pada tingkat pelaksana tekhnis misalnya Komwilpil (Komisi Wailyah Pemilihan) harus pakai aturan mana untuk dijadikan rujukan (pegangan) hukum syarat dalam system rekruitman anggota MRP, antara UU Peradsus MRP tanggal 25 November tahun 2010 ataukah SK Revisi Mengadri No 4 tanggal 13 Januari 2011 yang baru?
Komwilpil dalam sosialisasinya kemarin (Jum’at 28 Januari 2011) di Hotel Port Numbay menyatakan akan menggunakan UU Peradsus lama dengan sejumlah alasan masuk akal dan memiliki argumentasi konstitusional.
Jika begitu kenyataanya yang ada terjadi saat ini maka siapa yang harus disalahkan? Dalam filsafat hukum ada istilah Das Sein dan Das Sollen. Istilah yang pertama dimaksudkan adalah yang seharusnya ada.
Misalnya MRP sebagai refresentasi cultural Rakyat Pribumi seharusnya dilibatkan langsung, mulai dari keterwakilan pembuatan UU sampai pada penyelenggara MRP sepenuhnya harus dilakukan oleh orang Pribumi Papua tanpa intervensi pihak manapun dan kepentingan siapapun selain untuk kepentingan perlindungan, pengembangan dan pemeliharaan Orang Pribumi Papua sesuai amanat UU Otsus No 21 tahun 2002.
Namun kenyataanya yang ada (Das Sollen) kita saksikan bersama apa yang sedang sudah dan akan terjadi. Berbagai aksi demo yang dipimpin tokoh-tokoh agama dan tokoh pemuda agar pemerintah membubarkan MRP, menghentikan proses pemilihan anggota MRP, pemerintah harus jawab 11 rekomendasi dll hanya ‘tampias’ diatas tembok DPRP Imbi tanpa makna.
Masalahnya adalah siapa yang sesungguhnya memporakporandakan semua tatanan UU Otsus Papua yang disusun indah dari BAB ke Pasal hingga ayat-ayat manis itu menjadi racun dan mematikan aspirasi rakyat Papua itu hingga menurunkan kehormatan dan kewibawaan orang Papua dalam menyelenggarakan pemerintahan sendiri (otonom) saat ini? Kenapa dalam kenyataannya banyak intervensi “iblis” dijalanan hingga di pusat?
Rakyat kecil binggung karena tidak ada ketentuan hukum tetap sebagai pegangan penyelenggaraan panitia. Karena dalam sosialisasi rekruitman calon anggota MRP bersama KOMWILPIL kemarin (Jum’at 28/1/2011) dihotel Port Numbay Jayapura, Komwilpil tetap mau menggunakan aturan UU Perdasus pra revisi.
Hal ini banyak menimbulkan reaksi dan protes berbagai pihak umat beragama Propinsi Papua mengenai sejumlah persyaratan menyangkut hak dan kewajiban yang dianggap menjadi pemicu kacau-balaunya system rekruitman seleksi anggota MRP.
Karena itu panitia penyelenggara bekerja buru-buru mengejar target saat ini sebaiknya segera menghentikan semua proses aktifitas seleksi sebelum ada kepastian hukum mengikat sebagai landasan/pegangan panitia. Jika tidak sesungguhnya panitia penyelenggara anggota MRP tahun 2010-2015 bekerja diatas system aturan tidak pasti dan yang kacau balau.
Oleh sebab itu agar tidak terkesan maling-teriak maling panitia penyelenggara sebaiknya diperintahkan agar menghentikan proses seleksi anggota MRP yang terkesan buru-buru. Mengapa? Karena panitia bekerja diatas pijakan ketidakpastian aturan sebagai pegangan.
Sebagai akibatnya yang dirugikan adalah masyarakat Adat Papua. Tapi Panitia juga binggung yang mau dijadikan pijakan aturan mana, apakah UU Perdasus MRP lama atau SK revisi Kemendagri? Sistem kacau-balau dan tupang tindih tanpa pijakan aturan kepastian hukum sebagai pijakan proses penyelenggaraan rekruitman anggota MRP. Malah Panitia penyelenggara rekruitman anggota MRP bekerja diatas pijakan hukum (aturan) yang tidak jelas sebagai pegangan.
Semua system tumpang tundih dalam antara satu aturan dan aturan lain seperti halnya terjadi dalam proses pelaksanaan pemilihan anggota MRP di Papua. Karena UU PERDASUS MRP tahun 2010 dibuat buru-buru tanpa ada koreksi dan uji public sehingga antar satu pasal dan pasal lain dan satu ayat dan ayat lain rancu dan kacau balau.
SK KEMENDAGRI No 4 tahun 2011, hasil revisi UU Perdasus MRP bisa diabaikan KOMWILPIL MRP, muncul pertanyaan dibenak penulis; Siapa sebenarnya salah dalam hal ini sesungguhnya? Semua pihak harus bertanggungjawab!
*** *** **
*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPTP). Kontak HP : 081383418655
http://ismail-asso.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar