SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

10 November 2007

REAKTUALISASI NILAI-NIALAI PAPUA ASLI

A. Konsep dan Pendekatan Perjuangan Papua

Untuk menjawab ajakan diskusi saudara Henk
Rumbewas, saya buat catatan khusus. Karena itu
sebelum memasuki inti persoalan disini diawali
dengan catatan sebagai jawaban saya sebagai respon
tanggapan. Selanjutnya akan disusul kerangaka
pemekiran saya sesunguhnya. Menjawab sebagai respon
atas catatan koreksi darinya saya jawab sbb : Maka
inilah jawaban sebagai hak jawab saya atas tanggapan
itu.

Luar dari biasa, karena hemat saya agak semrawut,
lalulintas di Ampera, Klofkamp, APO Kali dan
lebih-lebih "Lingkaran setan" ABEPURA, Jayapura.
Berdiskusi tanpa kerangka logika ketepatan berfikir
yang konklusinya solusi lansung; Bukan kurang bisa
sama sekali tidak didapatkan disini manfaatnya,
sebagai keuntungan, jika yang dikedepankan adalah
sektor pinggiran, bukan inti soal Papua hari ini
.Lalu apa solusinya? Karenanya, tapi agak melenceng
dari sesuatu yang lebih bersifat memberi manfaat.

Tapi ini latihan sekaligus "putar-putar otak",
jadi taputar-taputar, atau "ekstace" jadinya anda
dan saya sekaligus agar bagaimana rasanya orang
mabuk anggur cinta, karena disini disuguhkan rajun
dan madu sekaligus. Jadinya Kita Mabok, sambil
menantikan kematian karena madu dan racun sekaligus.
Kita mabuk cinta. Cinta formalisme, bentuk, kulit,
tapi mengharap dikasihani, karena itu harus selalu
damai, nyaman, tentram, sentosa atau istilahmu,
"Peace". Sesuatu yang sangat dikritik habis oleh
Frederich Nieche sebagai "Bermentalitas Budak/
Memelas dihadapan Tuan.

Nilai-nilai Papua Asli

Damai adalah mentalitas memelas yang sama sekali
bukan budaya Papua yang sangat kaya raya, dan tidak
ada sedikitpun dalam adat/tradisi dalam kebudayaan
manusia Papua manapun, entah di pulau, pinggir laut
atau ditengah gunung Papua bermentalitas atau
berbudaya "Damai". Senjangaja diberi tanda petik,
sebagai damai dalam pengertian dan yang hidup dalam
budaya Papua berbeda sama sekali dari apa yang
ditawarkan sekelompok minoritas orang Papua atas the
silent majority, sebagai format perjuangan dalam
menuju Papua Merdeka.

Tapi jika kenyataannya ini yang menang dan
disuguhi dihadapan mayoritas budaya dan adat Papua.
Maka manusia serta kekayaan alamnya Papua diarahkan
oleh mereka sebagai sasaran perburuan yang
sesungguhnya. Karena "Perjuanagan Damai" sebagai,
hanya sebagai gagasan membawa etnis Papua dan
wilayah Papua ke kawasan perburuan, (killing
ground).

Maka dengan sendirinya gagasan dan penetapan
"perjuangan damai" adalah jalan menuju sebuah kapal
perusak (destroyer), karena membiarkan para
killers,pemburu, yang berwatak melenyapkan
(Un-nihilisme) bukan saja adat dan budaya Papua,
tetapi juga berarti etnis, serta kekayaan alam
semuanya akan menjadi punah dari peradaban umat
manusia dimuka bumi sebagai karya maha agung
Penciptaan.

Sungguh sama sekali tidak ditemukan yang
bermentalitas dikasihani, sehingga yang dikedepankan
adalah HAM, demokrasi, penegakan hukum. Karena semua
itu adalah konsep asing/barat yang sudah telah
merdeka. Karena itu bagi mereka yang paling penting
adalah damai, sejahtera dalam negara berdaulat telah
mereka kuasai. Hal demikian sangat tidak relevant
apalagi cocok dalam adat dan budaya Papua yang asli.
Tapi kalau mau tetap akan dipaksakan dengan rekayasa
konsep asing maka hasilnya selalu da tetap akan
gagal dan kita saat ini menyaksikan hal itu pasca
Kongres Papua ke II.

Didunia bangsa manapun sama sekali tidak ada yang
pernah Merdeka atau menuju kemerdekaan dengan cara
damai, dalam pengertian kedaulatan dari unsur
penidasan oleh kolonialis seperti apa yang kita
hadapi di Papua Barat saat ini. AKtifitas seperti
Munir, Adnan Buyung Nasution, jangan samakan dengan
keadaan kita di Papua atau penegak demokrasi tulen
Gus-Dur dari Ciganjur yang dibanggakan kaum
minioritas dinegerinya Abdurrahman Wahid, adalah
cocok bagi Indonesia, sebab Indonesia sudah merdeka.
Mereka hanya memperjuangakan, jadi hanya
memperjuangkan penegakan demokrasi dalam negara yang
sudah merdeka yang bernama NKRI.


Tapi jika Papua pantaskah semua orang beraktivitas
mendirikan LSM seperti mereka yang disebut-sebut
oleh Henk Rumbewas, sebagai yang disebut diatas?
Papua mau di jadikan sebagai daerah Zona damai,
padahal tujuannya mau merdeka karena belum berdaulat
oleh pengakuan dunia internasional? Pantaskah kita
sibuk dengan rutinitas orang lain hanya menegakkan
demokrasi, ham, penegakan hukum di tanah yang
sesungguhnya tidak damai? Kecuali hanya ketakutan
dan kekerdilan jiwa para pemimpin Papua atau hanya
mencari kekenyangan isi perut diri sendiri?

Papua punya HAM, demokrasi, dan penegakan hukum
tapi bukan cara asing yang dicoba ditampilkan dan
yang sedang dipraktekkan serta dipertontonkan oleh
sementara pihak selama ini. Semua yang dicoba
tampilkan adalah konsep asing, bukan cara dan budaya
yang berarti kepribadian orang Papua yang
sesungguhnya, yang sesalu percaya pada diri dan
kemampuannya sendiri.

Jika orang Papua tidak lagi percaya pada diri dan
kemampuannya sendiri maka ini adalah alamat kematian
bangsa dan budaya Papua sesungguhnya. Mereka para
musuh asing telah berhasil membunuh budaya dan
karakter/mentalitas orang Papua yang sesungguhnya
tangguh-tangguh! Tidak memelas dan menyerah pada
musuh begitu saja dengan kami damai, perjuangan
damai. Apaan itu perjuangan damai? Konsep asing
sajamo...

Maka tunggulah kehancurannya, jika dibiarkan terus
begitu, tanpa mau dikreatifitasi dengan tantangan
konteks kekinian yang harus segera direspon secara
cepat. Daripada dicoba mempertahankan "Perjuangan
Dami", dan terus berkutat disitu; Hasilnya : "Damai
Sejahtekah kini Tanh Papua sebagai Tanah Kanaan?
Tuhan yang tahu jawabannya, jika demikian anda
menjawab dan mengatakan; maka saya jawab, Tidak ada
Tuhan yang sesungguhnya di Papua, selain Tuan-Tuan
Papuia sendiri !

Kecuali Tuhan hanya suatu perasaan orang-orang
kalah dari kompetisi kehidupan duniawi kekiniaan,
sehingga agama hanya sebuah tempat pelarian bagi
orang-orang yang kalah. Sebagai hiburan semata-mata
bagi perasaan yang memang kalah maka dikatakan oleh
Karl max Agama adalah Candu yang sangat berbahaya
jika kita melihat segala sesuatu selalu dari sudut
Agama.

B. Pembebasan Papua Adalah Rasionalisasi

Dalam suatu upacara kematian ada tradisi di
kalangan suku Dani (orang Wamena), dengan kebiasaan
memotomng jari atau telingga, hakekatnya tidak baik
karena menghilangkan sesatua yang alami dari
diri/tubuh, tapi nilai yang diajarkannya adalah
bahwa; Bagi mereka tidak ada hari esok/akhirat,
karena itu tidak ada hari kebangkitan sesudah hari
kematian. Manusia mati, ya selesai begitu saja,
(sangat rasional bukan).

Karena itu maksud dari cara negatif, namun
bernilai positif dalam budaya memotong telingga,
atau jari-jari tatkala ada sanak saudara yang
meninggal adalah menandakan, bahwa tidak ada
pertemuan kembali di lain waktu, sesudah kematian
sebagaimana umumnya ajaran semitisme. Karena itu
bawahlah pergi bersama sebahagian dari anggota tubuh
ini, sebagai kenangan dari yang masih hidup dalam
perpisahan yang abadi ini.

Karena itu rasanya lucu sekali kalau ada orang
bertahun tahun menghabiskan waktu menuntut ilmu di
unversitas masih saja menhgharap Tuhan datang
memerdekakan Papua. Tidak malukah berhadapan dengan
orang yang tidak pernah sekolah tapi sudah mencapai
tahapan AUKFLARUNG,ENGLITMENT ? sedang kita masih
saja selalu irrasional? Dengan serta merta mengharap
sesuatu yang tidak betul pasti?Utopia, berawal dari
sini, kalau mentalitas para pejuang Papua M selalu
kalau yang ada begini semua adanya.

C. Damai sama dengan cinta

Dalam gurindamnya Frederich Nietche, pernah
mengatakan begini :

"Laki-laki dan perempuan memiliki rasa cinta yang
sama, namun berbeda dalam tempo. Adalah sesuatu yang
tidak pernah disadari yang berlangsung terus menerus
dalam kehidupan manusia, mengapa diantara keduanya
harus saling mencintai? ".

Karena itu, maka orang yang lain berkata : " sex
itu enak tapi lupa rasanya".

E....h, sa bicara apa ka.. . ? Maaf e..sa disini
bicara apa... tra mengerti !

Saya mau cukupkan saja sampai disini, terimakasih,
karena ini adalah persoalan sekitar masalah yang
menurut saya sangat asasi. Soal pinggiran juga kita
campurkan juga dalam berdiskusi ini, karena dengan
Abang Henk Rumbewas, orangnya mengasyikkan tapi juga
santun, karena itu saya menghormarmatimu, Kawan!
Sebagai sahabat. Enak jadinya kita untuk melanjutkan
diskusi ini, karena alasannya agak berbobot.

Mengingat Abang Rum ini tetap memancing tuk kita
menjawab agak lebih serius dari yang "sudah-sudah"
yang sudah dirasakan tak "tertahankan" lagi (runtuh)
dimakan oleh pembaharuan pemikirana anak-anak ABG
dengan pemikiran "nakal" yang dirasanya
menghawatirkan, sehingga jangan lagi ada Teys Eluay
ke 2-3 sampai seterusnya Munirpun jadinya sama.

Jadi masalahnya : "Cuma realitas hidupnya dan
Aplikasinya tidak semudah yang diinginkan atau
didambakan manusia". Berarti Saudara kita, Henk
Rumbewas adalah tipe manusia pesimistik. Namun
menginginkan hidup abadi, sesuatu yang bertentangan
dengan konsep teologi monetheisme abrahamic yang
selalu disebut-sebutnya sebagai konsepsi "ideal"
dalam melihat konteks perjuangan Papua.

Tapi bukankah ada Film yang berjudul "the single
not song", (penyanyinya bukan nyanyiannya) yang
menggambarkan seorang bandit besar mengikuti
keberanian seorang Pendeta, bukan kebenaran ajaran
yang dibakannya. (Gus-Dur; Membangun
Demokrasi,1998).

D. Kesimpulan

Adalah yang mengedepankan budaya Perjuanagan Damai
Papua adalah yang memiliki Mentalitas budak, menurut
Frederich Nietche, karena itu hanya Utopia belaka
harap-harap Tuhan Merubah Nasib Papua, demikian
kecaman Karl max yang komunis. Padahal adat dan
Budaya Papua semisal dari Wamena tadi sangat
rasional sebagai pencerahan kalau kita mau belajar
dari mereka. Tapi kita selalu arogan, karena itu
kita tidak mau belajar dari sekitar kita sendiri,
akibatnya dependent mentalitas kita, bukan Tuan tapi
Budak Militer Indonesia sebagai penjaga keamanan
NKRI.

Tidak ada komentar: