SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

10 November 2007

KONSEPSI DAN PERSEPSI PAPUAISME

Pandangan dikhotomis, oleh sebahagian pihak lain
adalah simplifikasi substansi persoalan atas
keinginan rakyat Papua sesungguhnya untuk merdeka
dan berdaulat, guna mereduksi realitas keinginan
rakayat Papua memisahkan diri dari NKRI, untuk
merdeka dan berdaulat penuh, maka pola-pola devide
det impera adalah lumrah belaka yang selalu dan
sering dilakukan oleh aparat manapun sebagai pihak
kolonialis, termasuk kasus perang suku antar warga
Papua di Timika, sebagai upaya menciptakan wacana
untuk merubah persepsi orang lain. Maka dengan
sendirinya terbentuk sebuah persepsi, demikian opini
menjadi terbenarkan adalah sesuatu yang sesungguhnya
belum tentu benar.

Memciptakan opini, dengan memperhadap-hadapkan
antar sesama masyarakat Papua adalah salah satu
usaha aparat militer dan pemerintah kolonialis
Indonesia, bahwa kesiapan Papua untuk memisahkan
diri belumlah siap. Usaha demikian secara memadai
akan diciptakan guna memperlihatkan kepada dunia
internasional, sekaligus sarana penciptaan wacana
sehingga menjadi persepsi umum bahwa Papua
terbelakang, kanibal dan berbagai stigmatisasi
negatif lainnya.

Demikian selalu dan dimana-mana di ciptakan oleh
regime otoriter yang kolonialis, hal sedang
diciptakan dewasa oleh oleh kolonialis Indonesia
pada bangsa Papua Barat. Agar image masyarakat umum
dan persepsi dunia internasional bahwa opini sebagai
sarana penciptaan kesan umum yang dianggap sebagai
kebenaran real menganggap bahwa untuk merdeka Papua
Barat belum siap, maka adu domba antar sesama rakyat
adalah biasa dilakukan oleh kolonialis manapun
didunia termasuk Indonesia dewasa ini di Timika
Papua Barat benar adanya.

Upaya demikian diciptakan selalu dan dilakukan
oleh para aparatur pemerintahan kolonial dengan
semangat kolonialis dan imperealis sebagai suatu
sarana penciptaan asumsi kebenaran yang bernilai
positif bagi mereka untuk melanggengkan hegemoni
tiranik di wilayah jajahannya, tak terbantahkan
bahwa hal itu dapat berimplikasi menjadi
disharmonisasi dan inkonsolidasi, tegasnya;
terpolarisasi internal masyarakat dalam menyikapi
keinginana mayoritas rakyat untuk independent,
antara memperjuangkan "M" atau menerima "O". Hal ini
dapat diamati dalam dinamika perkembangan politik
mutakhir di Papua Barat. Misalnya dalam menyikapi
kasus tawaran otsus dan pemekaran menunjukkan hal
ini menjadi nyata adanya.

Pluralisme Masyarakat Papua

Penting menyadari, kesadaran akan nilai positif,
bahwa sesungguhnya pluralitas internal masyarakat
Papua beserta dinamika penduduknya adalah suatu
kekuatan sebagai bentuk idealitas demokrasi
nasional. Bahwa Bangsa Papua Barat, sebagai sebuah
negara modern yang diidealisasikan akan terbentuk
sebagaimana negara demokrasi modern yang diidealkan
orang selalu di abad 21 ini. Karena itu semangat
optimisme positif akan nilai-nilai kemajemukan dapat
diperkokoh sebagai satu kesatuan kekuatan
nasionalisme Papua, merupakan landasan alami yang
telah tercipta ada. Pluralisme sebagai infrasruktur
sosial atau perangkat-perangkat sosial yang alami
sudah kita miliki sebagai modal dasar menjadi sebuah
bangsa plural yang metropolis.

Pluralitas adalah nyata dalam dinamika sosial
masyarakat manusia dimanapun dan manapun dunia,
demikian juga dengan rakyat Papua Barat dewasa ini.
Merupakan prasyarat utama dan terutama bagi Papua
sebagai sebuah negara ideal yakni metropolis, modern
dan demokratis yang diidealkan bangsa-bangsa modern
di dunia dewasa ini, bahwa berbagai karakteristik,
dan dinamika sosial budaya Papua adalah prasyarat
utama Nasionalisme Papua.

Persoalannya adalah tinggal bagaimana merubah
paradigma persepsi internal rakyat kebanyakan Papua
bahwa pluralitas atau kemajemukan Papua adalah bukan
saja alami, namun harus diciptakan, kalau tidak
minimal mempertahankan yang ada karena bernilai
positif. Pandangan ini berarti memandang bahwa
keseluruhan rakyat Papua yang kini ada, tanpa
mempermasalahkan etnik, keturunan, agama, bahasa,
dan sebagaimana keseluruhan yang nyata ada di Papua
adalah satu kesatuan bangsa Papua Barat. Demikian
adalah tidak lain konsepsi nasionalisme Papua yang
idealisasikan sebagai Nasionalisme Papua yang ingin
dan harus diwujudkan.

Maka sesungguhnya Papua Barat telah memenuhi
kualifikasi sebagai bangsa yang penduduknya pluralis
yang demokratis dan modern. Demikian nyata perangkat
(infrasruktur) sosial itu, yaitu dengan adanya
pluralisme penduduk dari berbagai latar belakang dan
etnisitas menunjukkan hal ini, masyarakat plural,
sebagai syarat utama civil society guna mewujudkan
sebuah nation independent yang demokratis dan
modern. Demikian realiatasnya, Papua Barat telah
memenuhi semua aspek demokrasi-nation sebagai sarana
terwujudnya fatsun politik apa adanya dinamika
pluralisme penduduk sebagai prasyarat utama, dan
terutama, par exelence, sebagai sebuah negara Papua
Barat yang demokratis akan tercipta kelak nantinya.

Pluralisme selain sarana inovasi peradaban
demokratis, pluralisme sebagai bahasa lain dari
kemajemukan adalah juga suatu estetika masyarakat
yang maha unik, dari semua keindahan, karena
menyangkut manusia dan disini letak seni
keunikannya. Maka persepsi positif terhadap
pluralisme bukan saja penting, namun terus harus
ciptakan. Pluralisme menjadi sarana yang paling
penting sebagai aktualisasi nilai-nilai demikrasi
modern dalam pengertian sesungguhnya dari demokrasi
modern yang dianggap ideal.

Papua Barat telah memiliki semua itu sebagai
khasanah kekayaan, sekaligus keunikan yang berharga
sangat tinggi. Karena hal demikian tidak dimiliki
semua bangsa yang ingin berdaulat. Tinggal
bagaimana mendorongnya agar usaha independensi Papua
sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dapat terwujud
di Papua Barat, harus dapat didukung oleh semua
element Papua adalah tugas dan tanggungjawab yang
harus segera ditunaikan oleh seluruh komponent
komunitas Papua tanpa kecuali. Darimanapun asal usul
keturunanya, etniknya, warna kulitnya, bahasa
ibunya, agamanya adalah tetap orang Papua asli.

Berbeda dengan optimisme demikian ini, yang
berpandangan sebaliknya, menganggap jika terbentuk
suatu regime berkuasa tentu berpotensi akan
melakukan polarisasi rakyat Papua secara dikhotomis.
Demikian asumsi pesimisme itu dengan argumentasi
bahwa bukan sebagai suatu kekuatan nasionalisme
Papua; sebaliknya diskriminasi; jadi, persepsi
negatif, bahwa pluralisme masyarakat Papua adalah
sektarianisme, tribalisme, dan primordialime
akhirnya disintegrasi nasionalisme Papua. Karena itu
keinginan pembentukan nation Papua yang independent
adalah suatu hal muspra.

Karena itu sebagai akibatnya yang berasumsi
demikian itu selalu mempertahankan Papua bagian yang
tak terpisahkan dari NKRI, adalah suatu hal yang
sangat tragis. Penindasan, perampokan, perbudakan,
pembunuhan, pembodohan yang kesemuanya itu adalah
penghinaan manusia atas manusia, sedang sangat
merajalela terjadi didepan mata. Mereka ini harus
menggagap bahwa lebih baik mengintegrasikan diri
didalam nation yang telah ada, serta menerima
otonomi sebagai alternatif terbaik dari pilihan
independent Papua yang sektarian oleh akibat
polarisasi dalam kemajemukan yang beresiko,
diskriminatif dan otoriter mayoritas regime.
Demikian pandangan sementara mereka yang pesimistik.

Karena itu asumsi mereka dibenarkan, padahal belum
tentu benar, karena kebenaran selalu relatif bahwa
antar sesama masyarakat Papua yang di anggap asli
yang tersebar di Pegunungan Tengah Papua, disatu
pihak dan Pesisir/Pulau dilain pihak, sejauh dapat
diamati dengan pengamatan secara mendalam selalu ada
ruang, ada nuansa, distingtif, tidak saja dalam pola
persebaran pemukiman/domisili, etnisitas, budaya,
akan tetapi juga dalam soal paradigma pendekatan
perjuangan Papua M, selalu saja ada dan tetap ada
nuansa paradigma pendekatan perjuangan.

Antara TPN/OPM yang violence dengan PDP/DAP yang
disubdience adalah suatu kenyataan yang tidak saja
memperkuat asumsi pihak lain akan adanya faksi yang
dapat menimbulkan ketidakmampuan Papua untuk
menentukan nasib sendiri, namun juga menjadi alasan
pokok pesimisme mereka sebagai dasar argumentasi
dari realitas kenyataan yang tak terbantahkan
adanya, bahwa kita Papua belum mampu merdeka,
terlepas dari aneksasi Indonesia/NKRI. Karena itu
mereka dapat saja tidak mendukung malah menghambat
sebagai rasa pesimisme oleh adanya dinamika internal
Papua ini.

Pluralisme sebagai konsekuensi logis, selalu
natural kemanusiaan, yang sering dan selamanya
dimana-mana karena berdimensi univerasal. Pluralitas
adalah suatu keniscayaan manusia dimana, dan selalu
ada pada masyarakat bagaimanapun. Pada era
globalisme pluralisme harus wajib ada, karena itu
tidak bagaimana, tapi itulah realitas kemanusiaan
yang manusiawi selalu. Di Papua Barat demikian itu
ditambah lagi dengan anasir-anasir baru, dalam
proses menuju idealisme Papua Barat sebagai satu
kesatuan bangsa yang dinamakan Nasionalisme Papua
akan terbentuk oleh aneka warna kebudayaan yang
masuk menyatu dalam budaya papua.

Akulturasi dan inkulturasi oleh akibat globalisme
akan tercipta sebagai kebudayaan Papua yang bersifat
akomodatif. Adaptasi terus menerus oleh akibat
transformasi nilai-nilai baru yang positif. Maka
hendaknya adat dan kebudayaan Papua tetap harus
dipertahankan. Memelihara dan mempertahankan
nilai-nilai budaya Papua lama yang baik dan
menggambil yang baru yang lebih baik adalah suatu
keharusan.

Bahaya Sektarianisme Papua

Nasionalisme Papua, maka dengan demikian secara
harmonis akan tercipta pada masa-masa kedepan ini.
Karena itu optimisme selalu harus di miliki orang
Papua tanpa menganggap hal itu sebagai-negatif.
Sebab apa yang dinamakan demokrasi, dalam pengertian
secara universal akar-akarnya sudah kita miliki
dalam budaya kita, budaya Papua, disegala suku
bangsa Papua secara keseluruhan (lihat Artikel:
Ismail Asso, Nasionalisme Papua, 2006). Karena tidak
ada tempat, dan satupun dalam budaya kita, budaya
Papua mengajarkan diskriminasi antar sesama manusia,
sehingga dapat menimbulkan dikhotomisasi, polarisasi
yang akibatnya benturan antar kebudayaan.

Sektarianisme yang berpotensi polarisasi yang
berakibat disintegrasi internal Papua harus
diarahkan pada persepsi potisif adalah usaha
senantiasa dan terus menerus sebagaimana pengertian
demokrasi difahami dewasa ini. Bahaya benturan
kebudayaan dalam pembentukan nasionalisme Papua yang
demokratis dalam era kedepan ini akan terus namun
secara kasat mata terkesan menyatu dalam
permukaannya, namun tidak demikian yang berkembang
dibawah kesadaran yang tidak teramati.

Maka bagi yang pesimistik hal demikian itu cukup
mengawatirkan, dan menganggapnya berbahaya, akibat
negatifnya dapat menimbulkan polarisasi, tidak saja
pada tataran interaksi sosial masyarakat bawah/awam
dilapangan, namun demikian kekhawatiran itu juga
dapat terjadi pada level elit intelektual. Hal ini
dapat menimbulkan masalah yang cukup pelik, karena
tidak bukan saja terjadi pada scube (tataran)
masyarakat gress root, namun justeru yang terjadi
pada level/tataran kaum elit intelektual.

Padahal seharusnya, jadi idealnya, sebagai
kelompok elit, meletakkan dasar-dasar gerakan
perjuangan selalu merujuk pada konteks sosial budaya
Papua, guna mwembangkitkan nasionalisme Papua, tanpa
terjebak pada simbol-simbol sektarian. Para elit
inteletual sebagai konseptor seharusnya tidak,
karena itu memang jangan, dapat terjadi
terpolarisasi yang terkesan sektarianme antara
sesama penduduk masyarakat yang dinamai sebagai
penduduk asli Papua.

Egosentrisme elit intelektual terkemuka Papua yang
diikuti dan dan diamti sepak terjangnya, sejauh yang
teramati kesan demikian bukan tanpa bukti dan hanya
isapan jempol, karena ada namun tidak menutup
kemungkinan tidak ada harus benar-benar tidak boleh
ada, karena memang tidak baik ada, dari yang memang
ada itu.

Sektarianisme bermula dari egosentriisme pemahaman
dan pandangan serba mutlak; mutlak kebenaran, mutlak
pemahaman, mutlak kebaikan, tanpa ada ruang
dialektika. Karena itu selalu dogmatis, tertutup,
tanpa ada redefinisi atau reintrepretasi nilai-nilai
doktrin yang ditawarkan tanpa terlebih dahulu di
perdebatkan dipublik lebih dahulu, kecuali selalu
harus mutlak benar dan wajib ditaati.

Demikian itu dapat terjerumus pada yang
berorientasi pada thrus claim, diri sendiri yang
paling benar. Kebenaran diborong diri sendiri,
seakan orang lain tidak punya kebenaran. Pandangan
menyangkut Papua Merdeka bila yang ada model
pandangan begini, sekalipun memang yang ada
demikian, maka bukan tidak mungkin kita hanya
menunggu waktu saja, semua kekayaan Papua habis,
dikuras, dirampok, oleh Binatang Indonesia dan
Anjing Amerika.

Perjuangan hanya tinggal perjuangan, tidak ada
yang tersisa. Lalu dimana peran dan tanggungjawab
kita? Sebagai Intelektual, Pendeta, Pastor, Ulama
dan Cendikiawan Papua? Dimana tanggungjawabmu, wahai
para intelektual (pendeta, pastor, ulama)dan sampai
dimana usahamu membawa keluar Papua dari NKRI busuk,
jahat dan rakus bagai Monyet itu, agar kekayaan ada
tersisa sedikit demi anak cucu kita nanti?

Mengapa kalian membiarkan mereka terus mati
dibunuh oleh TNI/POLRI, dikejar-kejar ditanah air
sendiri? Penyakit mematikan, HIV/AIDS, tidak ada
lagi generasi muda usia produktif yang tersisa?
Tidak lihatkah kalian, padahal mereka sekarang ini
hanya menunggu mati?

Sektarianisme adalah akibat egosentrisme, tapi
biasanya egosentrisme bermula dari anggapan,
subyektif, kita, akan benar mutlak sendiri, trush
claim dapat menimbulkan disintegrasi antar sesama
komponent komunitas Papua kedalam, (internal Papua),
pada akhirnya menjadi tidak produktif dalam kondisi
Papua harus berjuang memebaskan diri.

Primordialisme Positif

Adalah hukum alam, (kodrati), bahwa kita manusia
adalah pribadi otonom, sejak lahir, kita mengenal
diri sendiri, yaitu mulai dari Ibu-ayah sebagai
orang tua yang melahirkan kita, kerabat
dekat/saudara, saudara sekampung dan seterusnya
sebagai sesama warga negara. Ini semua adalah alami
unsur apa yang dinamakan primordialisme. Namun
lingkungan interaksi sosial kita paling pertama
menjadi terabaikan sejak kita berinteraksi dengan
nasionalisme, namun primordialisme selalu dan
selamanya akanmengingat kita pada akar. Kita akan
mengenal kepribadian atau suatu perjajnian luhur
diri kita yakni yang berhubungan dengan hal yang
bersifat rohani.

Tapi kemudian dalam masa tertentu kita sering dan
selalu harus menjadi rindu, begitu tiba-tiba saja
apabila menghadapi masalah, problema hidup, untuk
kembali mengadukan kepada orang yang paling
terdekat. Kita selalu merasa rindu ketika kemudian
kita menjadi beraneka ragam (pluralisme), ingin
pulang kampung, ingin berkumpul dengan orang
terkasih. Maka yang demikian itu adalah sesungguhnya
yang dkita namakan dengan Primordialisme positif.
Namun yang negatif adalah primordial kesukuan,
egosentrisme, menganggap diri, suku dan kelompok
sukunya yang hebat, dan karena itu tidak mau
menerima sesuatu kebenaran kalau sumbernya bukan
dari kebenaran kelompoknya.

Karena itu yang harus ditanamkan adalah jiwa
Nasionalisme Papua, dengan mengkontruksi kembali
dari akar-akar budaya Papua sendiri. Guna memupuk
persatuan dan kesatuan bangsa, sebagai Bangsa Papua
Barat, bertanah air tanah Papua Barat. Bangunan
kerangka baik yang kita sebut sebagai Nasionalisme
papua adalah rasa solidaritas antar sesama anak
bangsa Papua yang terdiri dari, masyarakat
pegunungan, lereng, lembah, hulu sungai, pesisir
laut, pulau dll.

Keunikan sebagai unsur alami primordial adalah
hanyalah faktor kebetulan saja, dan secara tiba-tiba
tanpa kita pernah merencanakanya dalam arti untuk
kita menjadi berbeda secara dikotomis negatif. Semua
adalah hukum alam, semua begitu saja adanya,
mengalir, dan kita hanya mendapati itu baru setelah
bertemu dengan yang lainnya, akhirnya, kalau kita
mendapati diri kita, lalu mengindentifikasi diri
sebagai mislanya saya Si, Ismail Asso, hanya
semata-mata karena saya setelah saya mengetahui
primordial diri saya yang otonom selalu dan
selamanya itu, namun juga memiliki karakter wajib
mengenal.

Mengenal, mencari tahu, mulai dari tanda, simbol,
sampai belum terus usai mengenalnya terburu habis
usia. Primordialisme adalah hal yang sifatnya alami
atau menjadi ada lahir, disini, dengan indentifikasi
sebagai nama, agama, marga ini-itu. Semua itu adalah
yang dimaksudkan dengan primordialisme.

Primordialisme difahami secara positif yakni
sesuatu keunikan pribadi yang sudah ada dalam diri
kita ketika tiba-tiba kita mendapati diri kita lahir
ada didunia, hadir dimuka orang lain/manusia lain,
baik yang kerabat, saudara dekat-jauh maupun orang
yang sama sekali baru kita mengenalnya. Menjadi
akhirnya kita mengerti siapa saya, maupun dengan
sesama anak manusia yang secara bersama mendiami
tanah suatu wilayah, dalam hal kita Papua Barat
dewasa ini. Nasionalime Papua adalah rasa kesatuan
dan persatuan yang akar-akar dapat di gali dari
aspek kesukuan yang bersifat primordial.

Tidak ada komentar: