Demo Anti Syari'at Islam
Adalah Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), menggelar demo anti syari'at Islam di depan Kantor Gubernur dan DPRD Papua. Dari namanya organisasi ini jelas sekali kelihatan, bahwa mereka ingin mengajak (menjaring) orang Papua dalam solidaritas dan kerjasama kelompok sektarian dalam tubuh masyarakat majemuk NKRI. Karena itu dengan sendirinya jelas bahwa pendukung organisasi ini menunjukkan bukan orang Papua tapi orang dari luar Papua. Merekalah (orang yang berasal dari luar Papua itu) yang sesungguhnya punya hajat dan berada dibelakang aksi penolakan syari’at Islam di DPRD dan Kantor Gubernur Jayapura, Papua.
Terdapat indikasi kuat, mereka selama ini merasa terdesak oleh lain mereka dalam apa yang dinamakan mayoritas umat Islam yang berkeinginan menerapkan syari'at Islam yang kuat didesakkan oleh beberapa kalangan dalam partai politik yang belakangan ini berkencenderungan menang disemua wilayah daerah Indonesia. Akhirnya mereka memang terdesak dalam kepentingan hidup bersama secara rukun damai dalam berwarga negara Indonesia.
Maka dapat diduga aksi anti syari'at Islam di Papua penggerak utama sepenuhnya adalah bukan orang Papua asli. Apalagi bunyi spanduknya sudah menunjukkan bahwa yang perlu perlindungan akan pelaksanaan syari’at Islam adalah kaum minoritas didalam tubuh masyarakat Indonesia mayoritas lain. Sebab selama ini mereka dikenal kelompok Islam phobia, kelompok takut didalam NKRI, sehingga membutuhkan perlindungan Pancasila dan UUD 45 dengan jaminan eksistensi hidup mereka jauh dari anasir keagamaan mereka lain dalam NKRI.
Pertanyaannya adalah adakah kebutuhan orang Papua pada Pancasila dan UUD 45, sehingga mereka butuh untuk menggelar aksi ditanah Tanah itu sebagaimana bunyi spanduk : ”Pancasila Yes, Syariah No”, ini? Jawabannya tidak! Selama ini wacana Syari’ah dan Islam phobia adalah wacana orang Senayan ( DPR RI) Jakarta. Wacana pelaksanaan syari’ah Islam oleh Partai Islam semisal PPP, PKS, PBB dan PBR, adalah masalah politik dalam negeri Indonesia. Tanah Papua dan rakyatnya, terutama penduduk pribumi Papua adalah soal lain, bukan soal menolakan syari'at Islam dan menerima untuk menetapkan Pancasila dan UUD 45 sebagai kebutuhan mereka. Dan, tapi semua itu sepenuhnya urusan ketatanegaraan Indonesia dalam kerangka ideologi nasional Indonesia dalam tubuh Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Wacana demikian itu (pelaksanaan syari'at Islam) tidak ditakuti, malah tidak diperhatikan sama sekali di Papua karena memang Papua mayoritas bukan keinginan pelaksaan Hukum Islam sebagai kebutuhan sebagaimana mayoritas rakyat Indonesia. Karena itu yang kita saksikan akan takut hal itu (pelaksanaan syari'at Islam) di senayan selama ini adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan sebahagian Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) berhadapan dengan lawan politik mereka dalam menetapkan ideologi dalam negeri mereka yang bernama NKRI.
Kalau begitu benarkah orang dari luar Papua yang berarti bukan orang Papua yang punya hajat dalam aksi penolakan syari’at Islam di gedung DPRD dan Kantor Gubernur Jayapura Papua (Selasa, 05 Agustus 2008 ) kemarin? Jawabannya ya, tapi mengapa mereka lakukan di Tanah Papua? Karena penduduk asli Papua mayoritas penganut agama Kristen Protestan di Utara dan Katolik di Selatan. Islam? Minoritas, hanya orang pendatang di sentra-sentra kota. Karena itu masuk akal mereka bagaikan soa-soa bersembunyi dibalik pohon besar Papua untuk berlindung dan merasa didukung agar diterima alasannya oleh lawan politik mereka sebagai alasan masuk akal.
Karena itu jelas, mereka ingin memperoleh dukungan mayoritas penduduk. Ini berarti aksi sepenuhnya digerakkan oleh oknum orang non Papua yang telah lama berkencimpung penyebaran agama dalam masyarakat orang Papua. Apa tujuannya? Melindungi diri sebagai minoritas takut, dalam mayoritas bangsa Indonesia yang memang sering menindas minoritas dalam tubuh negeri mereka. Kita tahu selama ini umat Kristiani dianiaya oleh saudara mereka yang mayoritas beragama Islam. Kejadian demikian pemandangan biasa di Indonesia selama ini yang jarang bahkan tabu terjadi di Papua.
Awas Ambon Jilid II
Menarik dicermati, karena beberapa minggu lalu ada insinden, Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar (STT Setia) di Cakung Jakarta Timur, oleh kelompok Islam garis keras (FPI?). Konon kelompok itu, sebagaimana dilaporkan media massa, bersama warga setempat melakukan aksi menutup lembaga pendidikan tinggi theologia milik kelompok itu. Karena dugaan mahasiswanya melakukan kegiatan konversi agama dengan rayuan dan paksaan dogma kelompok itu kepada warga sekitar kampus. Aksi penolakan syari'ah di Papua tidak begitu lama setelah insiden Cakung ini, hanya beberapa minggu.
Kejadian ini sama persis dengan yang teradi di Ambon Maluku dulu. Bermula di Jakarta, bentrokan antara beberapa pemuda Ambon dengan kelompok garis keras di Pejonongan, Jakarta Pusat. Kemudian Pemuda Ambon pulang kampung, dendam di Jakarta di balas pada orang lain, sesama saudara warga penduduk Ambon yang beragama lain pemuda Ambon. Maka bentrokan antara BBM dengan pemuda Ambon sulit dihindari, melebar menjadi bentrok antar agama. Bentrokan antar agama di Maluku Indonesia sampai hari ini menjadi trauma tersendiri yang sulit dilupakan rakyat disana.
Kejadiannya di Jakarta Timur, tapi mengapa yang direpotkan orang Papua? Adakah orang Papua mau mengerti apa yang baik pancasila atau syari’ah yang bukan kebutuhan mereka sesungguhnya? Mana yang benar, Papua mau merdeka, atau ikut sibuk mengurus dasar negara NKRI, Pancasila atau Islam (baca, Syari'ah)? Urusan menetapkan dan mengukuhkan Pancasila, sehingga : "Pancasila yes, Syari'ah no" adalah bukan urgen untuk orang Papua? Yang benar saja, bahwa sebernarnya orang Papua mau merdeka sama sekali terlepas dari kebutuhan minoritas masalah Indonesia.
Dalam gerakan Papua, Victor F. Yeimo, mencoba menganalisi adanya, gejala-gejala terkini yang menunjukkan sinyal adanya proses infiltrasi dalam kegiatan-kegiatan kerohanian (baca :Zionisme-Mossad Mengancam Papua Barat, Bagian II, http://cewehitammanis.blog.dada.net/post/1206966671/FRON-PEPERA.html). Dia menyebut ada infiltirasi oleh kelompok lain dalam gerakan perjuangan Papua.
Apakah gejala yang dimaksudkan sesungguhnya nyata dibuktikan dalam penggalangan aksi demo FKKI oleh orang non Papua yang mendapati dirinya dalam negara mereka bernama Indonesia? Sebagai minoritas takut, mereka (orang kristen non Papua) lalu bersembunyi di balik keunikan Papua. Tapi mengapa kita terkesan membiarkan diri, ditanah air kita, Papua Barat, bagi munculnya politik sektarian (aliran) Indonesia yang tidak pernah selesai sejak pra prolamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, dengan penghapusan tujuh kata bagi pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu?
Beberapa minggu lalu selama kunjungan penulis di Papua termasuk di Jayapura, penulis bertemu dengan beberapa tokoh nasional Papua. Minggu berikutnya ada surat oleh kawan Amerika dan mengirim lengkap hasil wawancara Thaha Al-Hamid. Intinya dia bertanya adakah keadaan di Papua memang gawat darurat, sehingga sangat mengkhawatirkan sebagaimana di konstantir pemuka Papua? Saya jawab tidak, kondisi Papua sangat kondusif. Lalu siapa yang memainkan issu benturan antar agama di Papua sesungguhnya?
Piagam Jakarta (baca; penghapusan tujuh kata) tidak ada hubungannya dengan Papua. Tapi mengapa wacana ini mereka bawa ke Papua? Tapi juga mengapa mereka memanfaatkan kelemahan dam kelengahan orang Papua, yang sesungguhnya tidak peduli soal wacana mereka? Karena itu terus terang, kita merasa kecolongan. Mereka “memakai” orang Papua untuk kepentingan perlindungan diri mereka sebagai minoritas takut, dalam apa yang dinamakan nasionalisme NKRI, ataukah kelompok “hijau” bermain disini untuk mencari proyek baru?
Lalu mengapa orang Papua mau “dipakai” dan daerahnya dibiarkan digunakan untuk kebutuhan mereka? Mungkin rasa solidaritas. Tapi apakah sesungguhnya esensi kebutuhan Papua memang sebagaimana dinyatakan dalam bunyi spanduk yang tertulis : ”Pancasila Yes, Syariah No”, “Gubernur, DPRP berilah kami cenderamata Perdasi dan Perdasus sebagai jaminan janji imanmu bagi Tuhan dan rakyat Papua”. Apakah memang benar orang Papua butuh Pancasila, UUD, Syari'ah ataukah “M” yang sesungguhnya?
Intelek Papua bukan terjerumus tapi dijerumuskan oleh pihak lain, mereka, sebagai minoritas dalam mayoritas lain. Tapi aksi ini sendiri dapat dibiarkan berjalan lancar, tidak sebagaimana selama ini lima-sepuluh orang berkumpul saja di cegah, dihalang-halangi. Kemana fungsi intel dan pengawasan militer sehingga sekian ratus orang bisa berkumpul? Atau siapa penggerak sesungguhnya dan apa tujuan yang ingin di capainya? Ambon jilid II, sebab wacana konstitusi NKRI, adalah urusan politisi Indonesia di Senayan (DPR RI) Jakarta, bukan, jadi seharusnya jangan, perhatian penting orang Papua sehingga menggelar aksi segala.
Menetapkan Pancasila dan menolak syari’ah benar mau, tapi sama sekali bukan kebutuhan dan hakekat kehendak orang Papua mendesak soal itu. Apalagi tuntutan orang Papua selama ini sesungguhnya bukankah bukan merdeka? Bukan Otsus, agama, Pancasila, UUD apalagi Syari'ah? Siapa yang diuntungkan dengan aksi demo besar di kantor gubrnur dan DPRD Papua? Yesus, Muhammad, ataukah itu kebutuhan dasar orang Papua? Apakah dengan demikian Yesus bahagia ataukah muhammad sedih karenanya? Lalu sebenarnya yang butuh Papua ada Syari'ah itu siapa? Bukankah Papua statusnya sebagai Otsus?
Apakah para intelek Papua terlalu bodoh membiarkan diri dan wilayahnya di pakai sebagai kendaraan bagi wacana politik sektarianisme dan kebutuhan perut minoritas Kristen Indonesia? Apakah intelektual Papua memperlakukan dirinya benar mau “dipakai”. Demikiankah orang Papua perlakukan diri dan daerahnya oleh orang lain? Atau diperlakukan bodoh, pada kepentingan dan kebutuhan diluar kebutuhan asasinya? Bukankah sesungguhnya Muhammad, Yesus, tidak untuk dimakan tapi hanya ajaran kebenaran dan kebaikan semata? Yesus tidak gembira dengan aksi atas nama agama yang dia bawa itu, demikian Muhammad tidak sedih dan menangis dengan gagalnya pelaksanaan syari’at. Tapi mereka dua sebagai pesuruh dan utusan Tuhan datang kedunia hanya menyuruh kita percaya, selesai!
Aktor Dibalik Aksi
Dibalik semua aksi, ”Pancasila Yes, Syariah No”, di Jayapura Papua, sesungguhnya dibelakangnya ada partai politik. Partai politik itu bermain dan mendanai aksi. Karena beberapa hal, pertama bahwa Papua bagi partai sektarian adalah basis pendulang suara dalam pemilu 2009 nanti, kedua, beberapa partai politik berasaskan syari’at islam memajukan caleg DPR/DPRD Tk I-II, orang-orang pribumi Papua. Jika Partai asas islam semisal PBB, PPP, PBR dan PKS memajukan calegnya asli orang Papua pasti akan menang dalam pemilu 2009 nanti. Maka aktor dibalik aksi, selain kecolongan tapi juga terbantahkan tesis selama ini yang mengatakan dominansi nilai spritual dari luar yang baru.
Dominasi nilai agama (baca: Fanatisme kepemelukan agama) sebagaimana dugaan orang luar selama ini, bahwa Papua identik dengan kelompok spritual tertentu. Tapi dengan adanya caleg-caleg partai asas islam dominan putra daerah, maka partai itu pasti akan menang dalam pemilu tahun 2009 nanti dan didukung rakyat Papua. Karena itu jika parpol berasas islam menang di pegunungan Papua nanti, maka asumsi bahwa Papua dominan nilai primordialisme spritual tertentu tidak dipertahankan lagi. Itu artinya Partai politik sektarian yang selama ini mendulang suara sudah tidak mungkin lagi mendapat dukungan mayoritas Kristen Papua.
Tapi kenapa kaum intelek Papua, utamanya dari kaum teolog terlalu bodoh memperlakukan diri mereka sendiri sebagai tidak tahu kalau dirinya bukan itu?
Apakah memang sesungguhnya orang Papua terlalu butuh dengan Yesus dan Muhammad? Bukankah kebutuhan orang Papua mau merdeka, bukan urus Pancasila, UUD dan syari'ah? Bukankah itu bukan wacana Papua sesungguhnya?
Ada kesan, tidak sebagaimana selama ini, warga gereja tidak ada masalah, malah bisa bebas, menggalang massa. Tapi mengapa pemerintah dan TNI/POLRI Papua kecolongan sekian banyak orang terlibat aksi damai bisa dibiarkan? Benarkah alasan ini, karena memang, orang Papua bukan mau merdeka tapi urus barang-barang milik Indonesia (Syari'ah, UUD dan Pancasila). Lalu nasib Papua Merdeka bagaimana?
Tegakah intelek Papua membiarkan daerahnya di jadikan tikus percobaan? Papua kita yang memang benar mayoritas Kristen Protestan dan Katolik sebelum Islam, tapi maukah daearh kita di jadikan kelinci percobaan pertarungan politik primordialisme Indonesia? Maukah kita membiarkan diri Papua di jadikan landasan bukan kebutuhan Papua tapi kebutuhan mereka? Papua memang tidak, sama sekali tidak butuh syari'ah, tapi betulkah Papua butuh Pancasila, UUD 45? Apa sih yang dibutuhkan Papua sesungguhnya? Muhammad?, Yesus?, Merdeka?, Pancasila?,UUD 45? Ataukah Hidup Merdeka, Damai Sejahtera? Kita bingung disini !!!
http://ismail-asso.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar