SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

18 November 2008

KASIH ITU APA?

Inspirasi penulis mau menulis dengan judul tulisan ini muncul dari seorang Pendeta atau Hamba Tuhan. Dia adalah Pendeta Alpius Pakage dari Mapia. Pada kami semua dalam suatu diskusi informal yang kami lakukan di kolong jembatan kereta Jakarta beliau tanya "kasih itu apa". Pertanyaan hasil refleksi diskusi kami di Jakarta pasca demonstrasi para hamba Tuhan Papua Barat di DPR RI Jakarta beberapa waktu lalu.



Demikian pertanyaan inti; “Kasih itu Apa?”, pada kami peserta diskusi. Dia ajukan pertanyataan itu pada kami yang umumnya anak-anak muda dari "gunung" (Wamena dan Paniai) yang sedang berdiskusi soal partai dan pemilu 2009 di Indonesia dalam suatu pertemuan tiba-tiba. Ya, bisa dibilang tiba-tiba karena diskusi tanpa ada rencana sebelumnya tapi begitu ketemu langsung mengalir dengan berbagai tema penting.

Mungkin karena ada beberapa orang tokoh tua maka dengan sendirinya anak-anak mahasiswa umumnya dari Mapia, Panai, tempat dimana kami diskusi hangat. Tokoh tua dan berpengaruh dari Gunung di Jakarta itu misalnya Bapak Teddy Kedykoto (calon kuat Gubernur Pegunungan Tengah, Versi dan kaukus Lukas Enembe dan kawan-kawan Bupatinya se-Pegunungan Tengah) dan Muhammad Yudhy Kotouky alias Yudas Kotouki caleg DPR RI dari Partai Bulan Bintang (PBB) nomor urut satu, Alpius Pakage, Caleg DPR RI Partai Pakar Pangan, Yanuarius Tigi Caleg DPR RI dari Partai Pemuda Pelopor Indonesia dan saya sendiri dari Wamena Lembah Balim selatan juga ada hadir disana.


Saya saat itu sedang ada di gedung PP Muhammadiyah, Menteng Raya, tidak jauh dari lokasi pertemuan, Yudas Kotouky telepon saya untuk ketemu. Bersama saya ada teman dari Kokoda Sorong Selatan, Ibrahim Kasob, dan jadilah kami ada pertemuan tanpa rencana. Dan diskusipun informal berbagai tema, seputar Papua dan masa depan orang Papua itu berlangsung cukup hangat tapi akrab dan menjadi ramai, berebutan ngomong, dalam suana kekeluargaan dan akrab, karena diselingi "mop" (lelucon).


Dalam saat seperti itulah Paitua Pakage belakangan tanya kami satu persatu dengan "kasih itu Apa", di sela-sela ramai diskusi itu. Mungkin Paitua tanya demikian karena dalam pertemuan itu ada hadir kami tiga orang yang beragama Islam, dari Gunung, kami dua orang saya dan Yudas/Yudhy Kotouky dan Ibrahim Kasob dari Pesisir Selatan Papua Barat. Ditengah ramai dan suana hangat Paitua Pakage ajukan pertanyaan yang kelihatannya mudah tapi punya makna dalam itu pada kami.

Diskusi mulanya tanpa tema dan arah vokus seputar partai, pemilu 2009, caleg-caleg DPR RI dapil Papua dan Papua Barat sudah kami lalui dan pendapat dari satu kesatu sedang kami masuki dalam diskusi kecil itu. "Kasih Itu Apa", diajukan Paitua Pakage diskusi lebih punya arti dan berbobot.



Pertanyaan itu dia tanya pada kami satu-persatu secara bergiliran.
Kini giliran saya, jari telunjuk Paitua diarahkan dimana arah saya duduk untuk jawab seperti lainnya. Saya tidak berkata apa-apa, diam. Tapi sebuah tindakan : saya ambil korek dan rokok, memeberikan (kasih) pada Alpius Pakage, bagi saya cukup belajar dari kata-kata teman lain yang sudah jawab secara panjang lebar sebelumnya disamping hemat waktu.


Karena itu saya ikuti semua secara tekun jawaban teman-teman penjawab pertama. Memang saya ikuti secara tekun, saya belajar dari argumentasi yang mereka bangun dari pengalaman dan pengertian dalam masing-masing penjawab pertama. Bagaimana landasan argumentasi yang mereka bangun, dan apa yang mendasari mereka jawab seperti ini dan begitu, dengan bahasa dan kata-kata ini dan jawabannya demikian itu, agar benar secara kokoh bisa di terima teman peserta diskusi lain.


Dengan sikap begitu saya jadinya banyak belajar tahu, kasih, terima, proses transformasi secara timbal-balik, memberi-menerima dengan mendegarkan kata-kata, bicara, omongan kawan-kawan lain peserta diskusi sesama anak gunung hari itu, diawali dan diarahkan oleh Alpius Pakage sangat penting bagi saya atau tindakan sikap saya itu lebih utama bagi saya daripada banyak bicara, buang kata-kata memakan waktu.


Bagi saya kalau saya bicara lagi maka, hanya buang kata-kata saja, perbuatan cukup membuktikan tanpa butuh penjelasan, dengan perbuatan lebih jelas, tanpa katapun dengan perbuatan lebih berbobot sebagai jawabannya. Kalau bicara banyak kata-kata untuk bisa diuraikan panjang lebar, dan itu buang waktu. Kasih tidak membutuhkan uraian dan penjelasan panjang lebar sampai berjam-jam dengan kata. Saya cukup "kasih" korek dan rokok, untuk menjawab pertanyaan, “kasih itu apa”. Intinya tindakan bukan kata-kata dari pertanyaan Pendeta Alpius Pakage.


Tindakan tidak membutuhkan kata-kata, tapi dengan contoh bukti jawaban pertanyaan sudah selesai, diam, tanpa kata-kata. Tindakan lebih jelas dari uraian panjang lebar. Dengan bukti perbuatan perkara selesai, bahasa dan kata-kata tidak dibutuhkan, diam! Maka saya tidak jawab soal pertanyaan "kasih itu apa?", karena pertanyaan ini lebih berdimensi batin, kejiwaan, dalam, bukan luar. Karena itu kata-kata tidak memadai dan mampu menjelaskannya kecuali tindakan. Tuhan Yesus Kristus membuktikannya!


Karena itu saya banyak belajar dari wawasan teman-teman yang memang luas, dari satu masalah pertanyaan dari jawaban-jawaban dalam menjawabnya pertanyaan itu. Disitu saya menjadi tahu, saya harus banyak belajar dan pelajari argumentasi yang dibangun dari teman-teman dalam diskusi ini sepenuhnya. Proses transformasi pengetahuan dan keluasan wawasan mereka miliki diantara satu sama lain dalam suatu diskusi, manfaatnya memberi dan mendapat. Demikian kata kasih maknanya ada disana.


Tapi jawaban umumnya penjawab-penjawab pertama sebelum giliran saya jawab, lumayan hebat, mendalam dan juga memperlihatkan pemahaman dan punya bahasa lain-lain membuat saya banyak belajar keanekaan pemahaman dan pengertian mereka adalah sikap demokratis yang harus dimiliki untuk menghargainya. Sebab watak dasar ilmu pengetahuan adalah tahu, mau tahu, sikap tahu diri dan mengetahui sikap politik masyarakat manusia dimanapun penting. Apa yang diketahui dan miliki kita dengar, lihat, baca, himpun, dan kita terus belajar dari lingkungan alam dan watak manusia.


Pada mereka dan mengerti bagaimana pengertian mereka dalam satu soal dan aneka jawaban mereka dan bahasa dari satu kalimat pertanyaan singkat tapi mendalam makna dari antara satu sama lain dengan jawaban panjang dan wawasan keluasan mereka miliki sebagai hikmah bagi saya dan saya menikmati belajar dari tahu mereka.


Pertanyaan ini di ajukan pada kami yang masih muda oleh seorang tokoh dari Suku Ekari/gi, Alpius pakage. Beliau adalah seorang Pendeta dan tokoh senior dari Mapia, Kabupaten Dogiay (dulu termasuk dalam Kabupaten Paniai sesudah Nabire). Walaupun singkat, padat pendek tapi pertanyaan berbobot menurut saya. Kalimat "Kasih Itu Apa", singkat, padat mendalam makna, tapi diuraikan berjam-jam atau kalau dituliskan bisa berjid-jilid buku. Kasih tidak identik dengan cinta, tapi cinta sudah pasti kasih. Kasih tidak butuh cinta tapi cinta butuh kasih. Sebagai seorang teolog (Pendeta) Kristen Protestan, Alpius Pakage lebih menghayati Kasih dari pada kita yang lain.



Sebab Kasih selalu identik dengan ajaran paling mendasar dari Tuhan Yesus Kristus (orang "moor ", membahasakannya Nabi Isa, walau kitab suci mereka menyebut dengan beberapa terma berbeda seperti Isabnu maryam, Isa anak {perawan) Maryam}, ruuhul kudus, roh yang suci dll). Intinya bahwa kasih dan rasa yang dimiliki bagi sipemilik rasa kasih jauh melampaui kata-kata, atau malah kata-kata tidak memadai membahasakannya.


Frans Magnis Suseno, Romo (Pastor) dalam buku "Etika abad 21" (lengkapnya lihat; Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 21, Kanisius, Jakarta, 2001), misalnya pernah membahasakan maksud sama. Magnis dalam pengantarnya itu menjelaskan maksud sama tentang filsafat Imanuel Levinas, seorang keturunan Yahudi kelahiran Lituania, yang tidak diketahui pasukan Nazinya Hitler dari Jerman sehingga tidak terbunuh tatkala peristiwa halacous.



Intinya sama, kata-kata terlalu panjang untuk menguraikan, oleh sebab itu lebih mudah dimengerti lewat contoh dan menghadirkan sejumlah alat bantu untuk membantu memahaminya apa yang dia mau maksudkan dalam filsafat "Fenomenologinya". Dalam pengantar itu Magnis kurang lebih mau mengatakan maksudnya begini, Filsafat Imanuel Levines, adalah paling sulit, karena itu dia menulisnya bundar dan melingkar, berputar-putar saking susahnya dibahasakan.



Seakan orang-orang masih disebelah sana dia sudah disebelah sini, dia menyeberangi sebelah sana, karena itu Magnis mengatakan filsafanya adalah paling sulit memahami abad ini. Lanjutnya, kata-kata tidak memadai untuk sanggup membahasakannya, karena itu harus menghadirkan sejumlah alat bantu untuk menjelaskannya. Dengan bantuan alat-alat itu orang lain dapat mengerti apa yang mau dimaksudkannya. Dia sendiri tulis secara bunder (putar-putar) dan itu justeru semakin mengaburkan maksud.



Filsafat Imanuel Levines, baru diketahui bagi yang berbahasa inggris dan terjemahan diluar bahasa Eropa, karena dia menulis dalam bahasa Prancis. Levines sesungguhnya ingin mengatakan tentang "Etika Tanggungjawab", yakni tatakala pertama kita berjumpa dengan orang tatapan mata tertuju pada wajah, disana muncul rasa tanggungjawab, kita disandera, sepenuhnya kita sadar, atas ketidak sadaran, saat tatap orang itu.



Imanuel Levinas mau memaksudkan sesungguhnya disana ada rasa tangggungjawab, tanggungjawab kita, pada orang itu, sebagai rasa tanggungjawab sesamanya, sesungguhnya disana sudah muncul, mendahului, rasa tanggung jawab, saya sudah sedia menghargai, menjaga, karena kedirianya adalah sepenuh tanggungjawab. (lihat Frans Magnis-Suseno, 20 Tokoh Etika Abad 21, Gramedia, Jakarta, 2001)


Kembali pada tema bahasan kita tentang pertanyaan, "KASIH ITU APA?" Maka siapun kita manusia, selalu sudah memilikinya. Artinya kasih adalah bukan kata-kata tapi perbuatan sesungguhnya. Kita mengerti apa itu kasih, maka kata-kata panjang lebar, kalaupun sanggup, untuk mendefinisikannya menjadi berputar-putar, bundar. Karena kita memilikinya, kita tahu semua, kasih itu apa, lebih mudah menghayati dan melakukannya dari mengatakannya apalagi menguraikan definisinya, apa itu kasih.


Tapi bagi yang kalau disuruh uraikan dengan kata-kata susah-susah gampang, sebab kasih, bukan sejumlah hal diluar diri manusdia, dia ada didalam, dalam hati manusia. Maka wajar saja kita susungguhnay hanya mereproduksi kata-kata, bukan penghayatan, apa itu kasih tapi tak sama dan sanggup secara baik memperkatakannya, karena kata-kata tidak memadai, tapi sentuhannya adalah hati, hati paling dalam. Karenanya kerumitan jawaban masing-masing adalah bobot pertanyaan. Alpius memulainya menjadi susuatu baru yang berbobot. Jika diuraikan bisa menjadi berjilid-jilid buku.



http://ismail-asso.blogspot.com

Tidak ada komentar: