Selama ini kita semua menghormati, dan penghormatan setinggi-tingginya diberi pada peran dan pengabdian para hamba Tuhan ditengah umat. Sebab tugas dan tanggungjawab utama mereka mulia, yakni mengembalakan domba (baca, umat) yang tersesat. Tapi kali ini yang terjadi sebaliknya.
Bahwa rombongan hamba-hamba Tuhan datang jauh-jauh dari Papua Barat tujuannya bukan untuk menegakkan moral tapi menolak pengesahan UU anti pornografi. Tujuan mereka hanya satu menentang atau menolak UU pornografi dan pornoaksi yang disahkan DPR RI berdasarkan tiga SK Menteri. Jika tidak mereka mengamncam akan keluar dari NKRI, apa ini benar? Hanya para hamba-hamba Tuhan itu yang jujur bisa menjawabnya.
Tapi apa relevansinya dengan kebutuhan Rakyat Papua Barat dan tugas suci dan mulia dalam hal menjaga moralitas umat daerah pelayanan mereka? Apakah lebih significant mengurusi moralitas pejabat daerah Papua Barat dari korupsi, kolusi, dan nepotisme daripada datang jauh-jauh ke Ibukota Indonesia, hanya sekedar menolak UU anti pornoaksi/grafi? Kalau demikian adanya maka yang tersesat bukan umatnya tapi para gembala sendiri, para hamba Tuhan.
Aneh tapi nyata. Kenapa? Hamba-Hamba Tuhan Papua Barat tersesat dalam permainan elit politik, digiring, didatangkan ke Jakarta. Maka istilah bahasa yang pas buat mereka adalah bahwa "yang tersesat bukan dombanya tapi pengembalanya". Sebab para hamba Tuhan ke Jakarta bukan untuk tujuan mengurus tugas dan tanggunggjawab harian mereka selama ini. Tapi kebalikan dari tugas dan tanggungjawab sebagaimana selama ini mereka tekuni, melayani umat tersesat. Kali ini mereka keluar dari tugas suci itu, mereka menyesatkan diri di DPR RI Jakarta. Apa tujuan dan siapa yang menyesatkan mereka? Ini yang mau dianalisis berikut ini.
Rombongan Hamba-Hamba Tuhan datang jauh-jauh dari Papua Barat hanya sekedar menolak, memprotes UU anti pornografi dan pornoaksi yang disahkan mayoritas fraksi DPR RI berdasarkan oleh SK tiga Menteri. Entah mereka digiring oleh siapa tapi sampai mereka keluar jauh meninggalkan area wilayah pelayanannya dan dari habitat kodratnya sendiri disayangkan pihak yang melihat dan memandang secara kritis untuk itu. Sebab diketahui bersama selama ini bahwa seharusnya tugas utama dan tanggungjawab penuh mereka adalah memperbaiki moral para pejabat bukan di tunggangi kepentingan elit pejabat.
Oleh siapa dan darimana bisikan iblis, godaan nafsu duniawi itu, dan hasutan itu berhasil datang pada mereka, penting dan vokus sorotan tulisan ini tapi yang pasti mereka digiring, dibiayai, masuk wilayah bukan kandang domba, tapi masuk kandang hariamau. Para pelayan Tuhan keluar meninggalkan wilayah dan habitatnya sendiri. Mereka tidak lagi berdiri kokoh menjaga moralitas domba-domba tersesat (umat) tapi mulai memasuki wilayah politik praktis, wilayah secular, bukan wilayah yang selama ini ditekuni dan menjadi tugas suci-mulianya, melayani Tuhan.
Tugas mulia Hamba Tuhan yakni menjaga moralitas umat atau dengan bahasa lain menggembalakan domba. Tapi yang terjadi pada hamba Tuhan Papua Barat adalah memasuki wilayah politik praktis sekaligus pragmatis. Malah tidak ada sangkut pautnya dengan tugas dan tanggungjawab mereka menjaga moralitas umat. Sebagaimana tugas dan misan pesan utama semua agama dan ajaran nilai kebaikan dari agama manapun yang namanya sex bebas, pornografi, pornoaksi dan sejenisnya di larang oleh semua ajaran agama.
Tapi mengapa mereka menentang dan berusaha membatalkan, sampai mengancam memisahkan diri dari NKRI segala? Kenapa mereka tidak panggul salib, kitab suci Injil dengan atribut dan simbol agama turun jalan menggiring umat untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Papua Barat yang terjajah adalah lebih baik dan bermanfaat bagi mereka, para hamba Tuhan, daripada sebaliknya? Seharusnya energi tugas dan tanggungjawab mereka keluarkan untuk menggalang massa guna menegakkan harkat dan martabat bangsa Papua Barat, daripada urus moralitas umat kristiani Indonesia yang luas. Mereka baiknya nurus Papua sendiri daripada sibuk mengurus rumah tangga orang lain, rumah tangga tetangganya?
Disinilah wilayah tersesatnya, mereka masuk kandang hariamau. Siapa yang menyesatkan mereka? Ini yang kita belum tahu tapi setidaknya ada beberapa kemungkinan berikut ini mau di raba-raba.
Pertama, mereka dibiayai oleh pemerintah Papua Barat sendiri yakni Ketua DPRD Papua Barat, Demianus Idji. Dalam kapasitas Ketua DPRD, Demianus Jimmy Idji memimpin para Hamba-Hamba Tuhan ini meninggalkan gembalannya datang ke Jakarta. Tujuannya bukan mau minta dialog untuk menegakkan harga diri dan martabat bangsa Papua di mata orang Jakarta yang menjajahnya tapi ini lain menistakan diri pada yang di jajahnya.
Kedua, Pemilihan Gubernur Papua Barat sudah dekat. Rakyat Papua Barat akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat sebentar lagi, dan para elit politik mulai mengambil simpati kelompok moralis masuk akal sebagai legitimasi dan mengambil hati pemilih bagi dukungan-dukungan tertentu adalah hal biasa bagi politisi tingkat manapun. Disini Jimy Idji mengakomodasi para pendeta tapi bukan pada kepentingan hamba dan urusan vokus hamba Tuhan selama ini, yakni gembalakanlah umatku, tapi gembalakanlah kekuasaan duniawi yang kotor perspektif moralitas agama tertentu.
Ketiga, Pada saat kepentingan bersamaan bertemulah kepentingan Partai Politik pusat dalam menjelang dan momentum sama, pemilu dan Pilkada, sudah kloplah dan para Hamba Tuhan di giring masuk, tersesatkan di wiliyah ini, politik pratis dan pragmatis, yang duniawi. Mereka terjebak disana meninggalkan umat masuk dam menceburkan diri wilayah kotor.
Keempat, Pemilu dan kampanye resmi bulan Januari, artinya semua partai politik hanya menunggu beberapa minggu saja untuk kampanye pemilu 2009. Papua mayoritas kelompok aliran tertentu mudah dimanfaatkan oleh kepentingan lain itu.
Kelima, UU SKB tiga Menteri tentang Porno Aksi dan Pornografi itu jika diamati esensinya sama, bahwa semua kitab suci agama manapun setuju dengan SKB itu, yakni mencegah pelacuran, sex bebas dll, mendukung sepenuhnya tugas suci harian pendeta dan Ustadz dimimbar-mimbar selaku pengemban mandat moral selama ini.
Jika demikian maka siapa yang menggerakkan mereka? Ada kesan yang paling vocal menggolkan UU Anti Pornografi kelompok politik aliran di dalam KNRI di Senayan, PDIP dan PDS walk out dalam sidang pembahasan pengesahannya.
Tugas Suci Pendeta
Tugas suci para agamawan, dari agama apapun selama ini menjaga moralitas umat dan menjunjung harkat dan martabat manusia dari pelacuran, kemiskinan, penjajahan, pemerkosaan, penistaan oleh kekuasaaan duniawi, secular, yang kotor dan seringkali luput dan mengabaikan harkat dan perhitungan martabat manusia.
Karena itu hamba Tuhan dibutuhkan kehadirannya tengah umat. Mereka mendapatkan predikat istimewa dihati umat sebagai orang-orang yang berhati lurus, suci, yang menjauhkan diri dari hiruk-pikuk duniawi, mereka menjaga moralitas umat dari kerakusan, kesesatan, dan menjujung tinggi nama Tuhan diatas segal-galanya sebagai tugas mulia dan suci.
Tugas demikian diarahkan demi menegakkan harkat martabat manusia dimuka bumi oleh para Hamba Tuhan dan petugas agama lain tidak dipungkiri lagi. Namun yang demikian secara bertentangan dilakukan oleh para Hamba Tuhan dari Papua Barat kemarin ( Senin, 03 November 2008 | 22:46 WIB) adalah aneh tapi nyata. Seakan Pendeta setuju dengan Pornografi, Pornoaksi, seks bebas, dan hal-hal sejenisnya. Karena itu mereka tidak setuju dengan pemerintah pusat tapi tolak UU SKB tiga menteri tentang porno aksi dan pornografi.
Bukan Domba Tapi Gembala
Nah ini baru ada cerita, kenapa? Hamba-Hamba Tuhan Papua Barat tersesat di Jakarta. Yang tersesat bukan umat atau dombanya tapi pendetanya atau pengembalanya. Ramai-ramai para hamba-hamba Tuhan yang mengaku diri dari Papua Barat tersesat dan menyesatkan diri di DPR RI Jakarta. Tujuan apa dan siapa yang menyesatkan mereka?
Karena yang datang menentang, menolak ke Jakarta agar UU anti pornoaksi/grafi tidak disahkan oleh DPR RI, --kalau memang benar UU anti pornografi itu merugikan dari sudut pandang teologi kristiani dan rasa religiusitas mereka terganggu oleh karenanya dari pro dan pendukung UU SK tiga menteri itu-- bukan oleh Pendeta Tanah Karo, Danau Toba, Mentawai, Dayak, Toraja, Menado atau Maluku Tenggera dan NTT, tapi ini Papua Barat.
Mereka datang jauh-jauh dari suatu daerah, sebuah wilayah cikal bakal nation, dalam masa dimana para hamba Tuhan perannya caracter boulding dan spirit moral, masih compang-camping dibutuhkan disana, mereka jauh-jauh sibuk mengurus bukan urusannya dan haknya. Padahal mereka wajib dan daerah pelayanan Papua Barat harus diurus dengan panggul salib turun ke jalan memimpin umat, menentang, porno aksi, sex bebas, minuman keras, pelacuran dll penindasan Jakarta tapi melegalkan pornografi adalah aneh bin ajaib para hamba Tuhan Papua Barat ini.
Sebab yang sesat bukan domba-dombanya (umatnya), tapi penggembalanya sendiri yang tersesat. Gawat memang! Ini bukan cerita "mob" Papua, tapi kejadian nyata. Yang sesat bukan umat yang digembalakan tapi gembalanya sendiri. Bukan main para rohaniawan ini. Soal dan kepentingan orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebutuhan dirinya mereka meninggalkan kampung halaman jauh-jauh di Papua Barat sana dan rela meninggalkan anak isteri datang ke Jakarta berhari-hari. Apa apa? Mereka tidak tahu diri, tangungjawabnya, tapi untuk kepentingan lain mereka sangat bersemangat.
Ada apa dengan mereka? Mereka datang jauh-jauh dari Papua Barat, Sorong, Manukwari dan sekitarnya. Konon mereka datang ingin ketemu DPR RI dan lagi katanya dengan Presiden RI. Bukan mengurus moralitas para koruptor dan penghisab darah dan keringat umat tapi sebaliknya ditunggangi dan dibiayai koruptor, didanai, digerakkan dan ada uang oleh kekuasaan. Kalau tidak, bisakah mereka datang jauh-jauh ke Jakarta?
Betapa tidak! Yang tersesat bukan domba-domba- nya, tapi penggembalanya sendiri. Para pengembala tersesatkan oleh sebuah kepentingan pragmatisme elit politik tertentu yang di gerakkan oleh Partai Politik yang suka menyimbolkan dengan simbol-simbol sektarian di tingkat nasional. Para Pendeta kita dari Papua Barat masuk dalam perangkap permainan elit politik ditingkat nasional RI.
Tugas Pendeta harusnya mengembalakan domba-domba yang tersesat tapi ini yang terjadi adalah pendetanya sendiri yang tersesat. Kalau begini bagaimana Papua mampu membebaskan dirinya merdeka, kalau para hamba Tuhannya sendiri tersesatkan oleh kepentingan elit politik Papua Barat dan di permainkan oleh sebuah Partai Politik bersimbol sektarian?
Kehadiran hamba-hamba Tuhan (baca Pendeta-Pendeta), Papua Barat yang di kooordinir oleh ketua DPRD-nya sendiri, Demianus Idji adalah sebuah kesesatan yang orientasinya penggiringan opini pemerintah daerah untuk mencapai target tertentu si penggiring. Sebab agenda Pilgub Papua Barat waktunya tinggal sedikit lagi. Demianus Idji punya target sendiri dalam hal pengiringan hamba-hamba Tuhan datang digiring sampai di Jakarta. Apa tujuannya, memenangkan pemilihan Gubernur Papua Barat dan Pemilu tahun 2009.
http://ismail-asso.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar