Bismillaahirrahmaanirrahiim
SEBAGAIMANA DULU SAYA BERTANYA-TANYA KENAPA IMAM ALI AS
DIBENCI
KEBANYAKAN "SAHABAT" RASULULLAH SAWW
DIBENCI
KEBANYAKAN "SAHABAT" RASULULLAH SAWW
SAYA JUGA BERTANYA - TANYA SEKARANG
BENARKAH SYAHID DR ALI SYARIATI DIBENCI ORANG
SEBAGAIMANA KETERANGAN TULISAN BERIKUT INI?
BENARKAH SYAHID DR ALI SYARIATI DIBENCI ORANG
SEBAGAIMANA KETERANGAN TULISAN BERIKUT INI?
hsndwsp
Acheh - Sumatra
Biografi Ali Syari’ati
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World menyatakan bahwa sulit menemukan biografi intelektual Syari’ati yang otoritatif. Banyak sisi kehidupan Syari’ati yang tetap tersembunyi. Sejak ia wafat, setiap tahun memang banyak karyanya yang diterbitkan di Iran untuk mengenangnya, namun datanya tidak lengkap, tersebar, dan bercorak hagiografis, sehingga agak sulit dibedakan antara kebenaran dan legenda.
Ali Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.
Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata "politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah "siyasah", yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda liar,", suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
" Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
" Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" .
Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. .
Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.
Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara.
Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, "Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah".
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan
rakyat.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan.
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan).
Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.
Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm (bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.
Kritik terhadap Syari’ati
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.
DAFTAR PUSTAKA
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294
Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004)
Ali Rahnema, "Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)
Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)
Muhammad Nafis, "Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami "Kemelut" Tokoh Pemberontak", dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)
Robert D. Lee, "Ali Shari’ati", dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)
Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III
Diposkan oleh Cecep Sopandi, 09 Mei 1986 di 00:47
Oleh : Cecep SopandiAli Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Maziman, pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar, Propinsi Khorasan, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht I Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang keluarga ulama dari Masyhad, kota tempat pemekaman Imam Ali Al-Ridha(w 818), Imam ke delapan dari kepercayaan Islam Syi’ah.
Kehidupan Syari’ati berakar di pedesaan. Di sanalah seperti ditulisnya dalam otobiografinya pandangan dunia Syari’ati pertama kali dibentuk. Dia begitu bangga akan leluhurnya, yang merupakan ulama-ulama terkemuka di masanya dan mereka memilih menyepi di gurun Kavir.
Guru pertama Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan untuk mengajar di kota Mashyad, dan tidak kembali ke desanya seperti tradisi leluhurnya.Sang ayah adalah ulama yang berbeda dari ulama tradisional. Sang ayah ini mempunyai perpustakaan lengkap dan besar yang selalu di kenang Syari’ati, yang secara metaforis dilukiskan sebagai mata air yang terus menyinari pikiran dan jiwanya.Di masa kecilnya ini, Syari’ati gemar membaca di perpustakaan ayahnya yang besar. Bahan bacaannya antara lain Les Miserables (Victor Hugo), buku tentang vitamin dan sejarah sinema terjemahan Hasan Safari, dan Great Philosophies terjemahan Ahmad Aram Syari’atikecil juga mulai menyukai filsafat dan mistisme sejak tahun-tahun pertamanya disekolah menengah.
Kombinasi sosok intelektual dan aktivis yang terjun langsung ke lapangan membela ketidakadilan ini sedikit membentuk semangat intelektual yang juga aktivis politik revolusioner. Dan dia pula, Syari’ati menyerap pandagan tentang konstruksi sosiologis Marx, khususnya banalisa tentang kelas social dan truisme (itsar). Syari’ati mengaku lebih banyak dipengaruhi Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, dan Franz Fanon. Ketika berada di Perancis, dia sadar bahwa pemikiran Barat bisa mencerahkan sekaligus memperbudak pemikiran pelajar Iran.
Modernisasi dari atas dan sentralisasi kekuasaan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadi cirri utama rezim kekuasaan Reza Syah. Modernisasi dan Industrialisasi yang dijalankan pada dasarnya berkiblat pada Negara-negara di Eropa Barat.
Dia melihat adanya proses pembaratan total yang membentuk Eropanoid. Dari sini muncul pemikirannya yang memetakan intelektual menjadi Intelektual Islam yang meniru, dan ‘intelektual sejati’ yang mengikuti tradisi para nabi dan menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi social. Syari’ati juga berusaha memecahkan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Pada tanggal 18 Juni, Pouran, istri Syari’ati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke London. Tetapi, kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona, anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara, dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow, Syari’ati menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton, Inggris.
Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syari’ati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah Iaran menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Kematiannya menjadi mitos "Islam Militan" Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya revolusi Iran, Februari 1979. Saat itu, Fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran berdampingan dengan Ayatullah Khomeini.
ISLAM AGAMA PEMBEBASAN
Pemahaman Islam yang ditawarkan Ali Syari’ati berbeda dengan pemahaman maintreem saat itu. Islam yang dipahami banyak orang di masa Syari’ati adalah Islam yang hanya sebatas agama ritual dan fiqh yang tidak menjangkau persoalan-persoalan politik dan sosial kemasyarakatan. Islam hanyalah sekumpulan dogma untuk mengatur bagaimana beribadah tetapi tidak menyentuh sama sekali cara yang paling efektif untuk menegakkan keadilan, strategi melawan kezaliman atau petunjuk untuk membela kaum tertindas (mustad’afîn).
Islam yang demikian itu dalam banyak kesempatan sangat menguntungkan pihak penguasa yang berbuat sewenang-wenang dan mengumbar ketidakadilan, karena ia bisa berlindung di balik dogma-dogma yang telah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi kepentingannya.
Syari’ati berpendapat bahwa Islam lebih dinamis dari pada agama lainnya. Terminologi Islam memperlihatkan tujuan yang progresif. Di Barat, kata "politik" berasal dari bahasa Yunani "polis" (kota), sebagai suatu unit administrasi yang statis, tetapi padanan kata Islamnya adalah "siyasah", yang secara harfiyah berarti "menjinakkan seokor kuda liar,", suatu proses yang amengandung makna perjuangan yang kuat untuk memunculkan kesempurnaan yang inheren.
Islam, dalam pandangan Syari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hanya sekadar hubungan antara hamba dengan Sang Khaliq (Hablu min Allah), tetapi lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan:
" Adalah perlu menjelaskan tentang apa yang kita maksud dengan Islam. Dengannya kita maksudkan Abu Zar; bukan Islamnya Khalîfah . Islam keadilan dan kepemimpinan yang pantas; bukan Islamnya penguasa, aristokrasi dan kelas atas. Islam kebebasan, kemajuan (progress) dan kesadaran; bukan Islam perbudakan, penawanan dan pasivitas. Islam kaum mujâhid; bukan Islamnya kaum ulama. Islam kebajikan dan tanggungjawab pribadi dan protes; bukan Islam yang menekankan dissimulasi (taqiyeh) keagamaan, wasilah ulama dan campur tangan Tuhan. Islam perjuangan untuk keimanan dan pengetahuan ilmiah; bukan Islam yang menyerah, dogmatis, dan imitasi tidak kritis (taqlîd) kepada ulama" .
Selanjutnya, gambaran Islam pembebasan ditegaskan kembali oleh Syari’ati:
" Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali kepada Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana yang kita maksudkan: Islam Abu Zar atau Islam Marwan (bin. Affan), sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan besar diantara keduanya. Satunya adalah Islam ke-khalîfah-an, istana dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam rakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin. Lebih lanjut, tidak cukup syah dengan sekadar berkata, bahwa orang harus mempunyai kepedulian (concern) kepada kaum miskin dan tertindas. Khalîfah yang korup juga berkata demikian. Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian. Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan dan penghapusan kemiskinan" .
Ali Syari'ati menyebut Islam sebagai agama pembebasan. Islam, menurutnya, bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan Sang Pencipta, melainkan lebih merupakan ideologi emansipasi dan pembebasan. Syari'ati juga mengatakan masyarakat Islam sejati tak mengenal kelas. Islam menjadi sarana bagi orang-orang yang tercerabut haknya, yang tersisa, lapar, tertindas, dan terdiskriminasi, untuk membebaskan diri mereka dari ketertindasan itu.
Syariati mendasarkan Islamnya pada kerangka ideologis. Dia memahami Islam sebagai kekuatan revolusioner untuk melawan segala bentuk tirani, penindasan, dan ketidakadilan menuju persamaan tanpa kelas. Syari'ati bahkan mencetuskan formula baru: ''Saya memberontak maka saya ada.''. .
Islam pembebasan adalah Islam yang diwariskan oleh Imam Husein; kesyahidannya di Karbala menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang tertindas untuk memelihara Islam yang otentik itu. Sehingga, Islam yang demikian adalah Islam Syi’ah awal, yakni Islam Syi’ah revolusioner yang dipersonifikasikan Abu Zar al-Ghifari dengan kepapaannya, dan Imam Husein dengan kesyahidannya. Keduanya merupakan simbol perjuangan abadi ketertindasan melawan penguasa yang zalim. Islam Syi’ah revolusioner ini kemudian mengalami "penjinakan" di tangan kelas atas – penguasa politik dan ulama yang memberikan legitimasi atas "Islam" versi penguasa. Ulama, tuduh Syari’ati dengan menggunakan jargon Marxis, telah menyunat Islam dan melembagakannya sebagai "pemenang" (pacifier) bagi massa tertindas, sebagai dogma kaku dan teks skriptural yang mati. Ulama bergerak seolah-olah di dalam kevakuman, terpisah dari realitas sosial.
Menurut pengamatan Syari’ati, selama 7 abad sampai masa Dinasti Safavi, Syi’isme (Alavi) merupakan gerakan revolusioner dalam sejarah, yang menentang seluruh rezim otokratik yang mempunyai kesadaran kelas seperti Dinasti Ummayah, Abbasiyah, Ghaznawiyah, Saljuk, Mongol, dan lain-lain. Dengan legitimasi ulama rezim-rezim ini menciptakan Islam Sunni versi mereka sendiri. Pada pihak lain, Islam Syi’ah Merah, seperti sebuah kelompok revolusioner, berjuang untuk membebaskan kaum yang tertindas dan pencari keadilan.Syari’ati melihat rezim dan lembaga keulamaan, yang bisa jadi terkadang ditunggangi pihak luar, sebagai manipulator masa lampau Iran dan arsitek yang menjadikan tradisi menjadi penjara.
Rezim Syah Iran tidak membangkitkan agama, tetapi mempertahankan kerajaan yang mandek, sementara para ulama mempertahankan kemandekan Islam. Menurut Syari’ati, apa yang terjadi di Iran adalah, bahwa di satu sisi, para ulama yang menjadi pemimpin agama selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya menjadi bentuk agama yang kian mandek, sementara di sisi lain orang-orang yang tercerahkan yang memahami kekinian dan kebutuhan generasi dan zaman, tidak memahami agama. Akhirnya, kata Syari’ati, "Islam sejati tetap tak diketahui dan tersembunyi dalam relung-relung sejarah".
Bagi Syari’ati, Islam sejati bersifat revolusioner, dan Syi’ah sejati adalah jenis khusus Islam revolusioner. Tetapi entah mengapa dalam perjalanan waktu kemudian Islam telah berubah menjadi seperangkap doa-doa dan ritual yang tak bermakna sama sekali dalam kehidupan. Islam hanya sebatas agama yang mengurus bagaimana orang mati, tetapi tidak peduli bagaimana orang bisa survive dalam kehidupan di tengah gelombang diskriminasi, eksploitasi, dan aneka penindasan dari para penguasa zalim. Agama model seperti ini yang sangat disukai para penguasa untuk menjaga kekuasaannya tetap aman, tanpa ada gangguan dari orang-orang yang ingin mengamalkan Islam sejati.
Gagasan Syari’ati tentang Islam revoluioner atau Islam pembebasan sejalan dengan gagasan tentang teologi pembebasan (theology of liberation) yang banyak diusung oleh tokoh-tokoh revolusioner baik di Amerika Latin maupun Asia. Ide dasar pemikiran antara Syari’ati dengan para pengusung teologi pembebasan hampir sama, yakni ingin mendobrak kemapanan lembaga resmi keagamaan (ulama, gereja) yang posisinya selalu berada pada pihak kekuasaan, dan berpaling dari kenyataan ril umatnya yang selalu ditindas oleh kekuasaan itu. Mereka sama-sama memberontak dan tidak puas dengan seperangkat doktrin yang telah dibuat oleh ulama atau gereja untuk melindungi kepentingan kelas atas dan menindas kelas bawah. Islam revolusioner dan teologi pembebasan sama-sama berupaya untuk mengakhiri dominasi lembaga resmi agama dan mengembalikan hak menafsirkan agama itu kepada rakyat, sehingga doktrin-doktrin yang terbentuk adalah ajaran agama sejati yang berpihak pada kepentingan
rakyat.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran, sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, masih menurut Boff, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas, yang muncul pada tahun 1960-an yang melibatkan sektor-sektor penting sistem sosial keagaman, seperti para elit keagamaan, gerakan orang awam, para buruh, serta kelompok-kelompok masyarakat yang berbasis keagamaan.
Teologi Pembebasan adalah produk kerohanian. Dan harus diakui, dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal, Teologi Pembebasan telah memberikan sumbangsih yang amat besar terhadap perluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Doktrin masuk akal itu telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional keagaman yang mapan. Beberapa diantara doktrin itu adalah ; 1). Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan menindas, 2) Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, 3) pilihan khusus pada kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan, 4) Suatu pembacan baru terhadap teks keagamaan, 5) Perlawanan menentang pemberhalaan sebagai musuh utama agama 6) Kecaman teradap teologi tradisional yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis.
Sejalan dengan kerangka pikir gerakan teologi pembebasan yang diusung oleh kalangan revolusioner di lingkungan agama Katholik, Islam revolusioner atau Islam pembebasan kurang lebih mempunyai kerangka pikir yang sama. Teologi pembebasan berbasis pada kesadaran rohani dan Islam pembebasan juga berbasis pada kesadaran Islam sejati atau otentik. Masing-masing mempunyai tujuan untuk menjadikan agama sebagai sarana untuk memperjuangkan tegaknya keadilan, meruntuhkan segala sistem despotik dan otoriter dan menjaga agar tidak ada penindasan di muka bumi ini.
Sebagaimana yang telah terekam dalam sejarah Islam, bahwa kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo serta mengentaskan kelompok yang tertindas dan eksploitasi; mereka inilah yang disebut dengan kelompok masyarakat lemah. Masyarakat yang sebagian anggotanya mengeksploitasi sebagian anggota yang lainnya yang lemah dan tertindas, tidak disebut sebagai masyarakat Islam (Islamic society), meskipun mereka menjalankan ritualitas Islam. Ajaran Nabi menyatakan bahwa kemiskinan itu dekat dengan kekufuran, dan menyuruh umatnya untuk berdoa kepada Allah agar dapat terhindar dari keduanya. Penghapusan kemiskinan merupakan syarat begi terciptanya masyarakat Islam. Dalam hadis lain Nabi menyatakan, bahwa sebuah negara dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kekufuran, namun tidak bisa bertahan jika di dalamnya terdapat dhulm (penindasan).
Sayangnya, sebagaimana yang telah digelisahkan oleh Syari’ati, Islam yang bersifat revolusioner ini segera menjadi agama yang kental dengan status quo. Islam sarat dengan praktek feodalisme dan para ulama justru menyokong kemapanan yang sudah kuat itu. Mereka lebih banyak menulis buku tentang kaidah-kaidah ritual dan menghabiskan energinya untuk mengupas masalah-masalah furû’iyah dalam syari’at, dan sama sekali mengecilkan arti elan fital Islam dengan menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok yang lemah dan tertindas (mustad’afîn). Mereka mengidentifikasi dirinya sebagai mustakbirîn (orang yang kuat dan sombong).
Seperti yang telah disebut di muka, Syari’ati "menuduh" ulama sebagai sumber utama atas penyelewengan ajaran Islam yang bersifat revolusioner. Di tangan ulama, Islam telah menjadi agama "orang mati" yang tidak berdaya melawan "orang-orang yang serakah". Dalam konteks Iran, ulama telah merubah Syi’ah dari kepercayaan revolusioner menjadi ideologi konservatif; menjadi agama negara (din-i dewlati), yang paling tinggi menekankan sikap kedermawanan (philanthropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela dari kemewahan. Sedangkan pada pihak lain, demikian Syari’ati menggambarkan, ulama mempunyai hubungan organik dengan kemewahan itu sendiri melalui kelas berharta.
Karena ulama Syi’ah memperoleh pemasuka dari Khams (sedekah) dari sahm-i Imâm (bagian dari zakat), mereka tak terhindarkan lagi terkait kepada orang kaya, negara tuan tanah, dan pedagang bazaar. Sebagai respon terhadap orang yang mengklaim bahwa ulama Syi’ah lebih independen dibandingkan dengan ulama Sunni. Syari’ati berargumen bahwa hal itu mungkin benar pada masa sebelum Safavi, tetapi tidak demikian setelahnya.
Kritik terhadap Syari’ati
Kritik yang cukup pedas dari Syari’ati kepada golongan ulama membuat para ulama menberikan reaksi balik. Muthahari, salah sorang ulama terkemuka, memandang Syari’ati telah memperalat Islam untuk tujuan-tujuan politis dan sosialnya. Lebih jauh Muthahari menilai, aktivisme politik protes Syari’ati menimbulkan tekanan politis yang sulit untuk dipikul oleh sebuah lembaga keagamaan seperti Hussainiyeh Ersyad dari rezim Syah.
Dan Memang, setelah Syari’ati banyak mengkritik lembaga ulama dan rezim, Hussainiyeh Ersyad akhirnya ditutup paksa oleh pasukan keamanan. Selain Muthahhari, masih banyak ulama sumber panutan (marja’ taqlid) seperti Ayâtullah Khû’i, Milani, Rûhani, dan Thabathâba’i yang juga turut mengecam suara-suara kritis Syari’ati. Bahkan mereka mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual, dan membaca tulisan-tulisan Syari’ati.
Setelah Syari’ati mengkritik ulama yang dinilainya sebagai akhund, Syari’ati lantas menyampaikan tipikal ulama ideal. Menurutnya, ulama ideal, secara sederhana, adalah ulama aktivis, yang menggalang massa untuk melakukan gerakan protes. Sehingga dalam hal ini, ia menjadikan ayahnya sendiri dan Ayâtullah Muhammad Baqir Sadr (dihukum mati oleh pemerintah Republik Islam Iran tahun 1979) atau pemikir aktivis dari kalangan Sunni seperti al-Afghani sebagai idolanya. Khomaeni tentu saja cocok dengan kerangka Syari’ati mengenai ulama. Tetapi Syari’ati tidak pernah menyatakan perasaannya secara terbuka tentang Khomaeni. Informasi yang ada nampaknya memberikan indikasi bahwa Syari’ati mengakui Khomaeni sebagai pemimpin besar.
DAFTAR PUSTAKA
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294
Ekky Malaky, Ali Syari’ati ; Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern. (TERAJU;Jakarta, 2004)
Ali Rahnema, "Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta:Erlangga, 2002)
Azyumardi Azra, Pergolakan Islam Politik; Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996)
Muhammad Nafis, "Dari Cengkeraman Penjara Ego Memburu Revolusi: Memahami "Kemelut" Tokoh Pemberontak", dalam M. Deden Ridwan (ed.), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999)
Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Mizan, Bandung, 1985)
Robert D. Lee, "Ali Shari’ati", dalam Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal, Hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)
Michael Lowy, Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Yogyakarta: LkiS, 2000)
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III
Diposkan oleh Cecep Sopandi, 09 Mei 1986 di 00:47
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Jakarta
AS BEFORE I wonder WHY IMAM ALI AS
HATED BY MOST OF "FRIENDS"THE PROPHET SAWW
NOW I ALSO wonder
DOES MARTYR DR Ali SYARIATI HATED ALSO
BY THE PEOPLE IN REALITY AS THE WRITING BELOW?
hsndwsp
Aceh - Sumatra
HATED BY MOST OF "FRIENDS"THE PROPHET SAWW
NOW I ALSO wonder
DOES MARTYR DR Ali SYARIATI HATED ALSO
BY THE PEOPLE IN REALITY AS THE WRITING BELOW?
hsndwsp
Aceh - Sumatra
Ali Biography
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World states that it is difficult to find an authoritative Shari'ati intellectual biography. Many facets of life which remain hidden Shari'ati. Since he died, every year is a lot of his work published in Iran to remember him, but the data are incomplete, scattered, and patterned hagiografis, so a bit difficult to distinguish between truth and legend.
Ali was born 23 November 1933, at Maziman rural, suburban and Sabzavar Mashhad, Khorasan Province, Iran. Village located on the edge of Kavir desert Dasht First, in North-East Iran. He was born from a family of scholars. His father, Muhammad Taqi Shari'ati is a scholar who has a long lineage of family scholars of Mashhad, a city where pemekaman Imam Ali al-Rida (w 818), the eighth Imam of Shiite Islam beliefs.
Shari'ati rooted in rural life. It was there as he wrote in his autobiography worldview Shari'ati first formed. He was so proud of his ancestors, who are leading scholars in his time, and they chose solitude in the Kavir desert.
The first teacher was Taqi Shari'ati Shari'ati, his own father, who decided to teach in the city Mashyad, and did not return to his village as tradition leluhurnya.Sang cleric father is different from the traditional clergy. The father has a large library that is always full and the recalled Shari'ati, which is metaphorically described as the spring that continues to illuminate the mind and jiwanya.Di childhood, Shari'ati avid reader in his father's large library. Reading materials, among others, Les Miserables (Victor Hugo), a book on vitamins and translation Hasan Safari cinema history, and the Great Philosophies Ahmad Aramaic translation Syari'atikecil also starting to like philosophy and mysticism since his first year secondary school.
The combination of intellectual figures and activists who jumped directly to the field to defend the injustice of this little form the spirit of an intellectual who is also a revolutionary political activist. And he also, Shariati absorb pandagan about Marx's sociological construction, especially banalisa about social class and truisme (itsar). Shari'ati claimed more influenced Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, and Franz Fanon. When in France, he realized that Western thought can enlighten as well as enslaving the Iranian student thinking.
Modernization from above and centralization of power made with an iron fist; application of military means that 'requires brutal repression against those who oppose, became the defining features Reza Shah's regime. Modernization and industrialization are run basically oriented countries in Western Europe.
He saw a total westernization process that forms Eropanoid. From this it appears that his ideas became the intellectual map that mimics the Islamic intellectual, and 'true intellectuals' who follow the tradition of the prophets and awaken his people once had a social responsibility and mission. Shari'ati also tried to solve the problems facing Muslims based on Islamic principles. On June 18, Pouran, Shari'ati wife, and their three daughters wanted to catch up to London. But this time the authorities refused to allow Pouran and Mona, 6-year-old son, to leave Iran. But Soosan and Sara, two other children, are allowed. Once they arrived at Heathrow, Shariati pick him up and took them to a house which had been rented in Southampton, England.
But the next morning, June 19, 1977, Shariati was found dead in Southampton, England. The government declared Shari'ati Iaran died from heart disease, but many believe that he was murdered by the Iranian secret police. Her death became a myth "Islamic militants" Its popularity peaked during the Iranian revolution in February 1979. At that time, His picture dominates the streets of Tehran alongside the Ayatollah Khomeini.
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World states that it is difficult to find an authoritative Shari'ati intellectual biography. Many facets of life which remain hidden Shari'ati. Since he died, every year is a lot of his work published in Iran to remember him, but the data are incomplete, scattered, and patterned hagiografis, so a bit difficult to distinguish between truth and legend.
Ali was born 23 November 1933, at Maziman rural, suburban and Sabzavar Mashhad, Khorasan Province, Iran. Village located on the edge of Kavir desert Dasht First, in North-East Iran. He was born from a family of scholars. His father, Muhammad Taqi Shari'ati is a scholar who has a long lineage of family scholars of Mashhad, a city where pemekaman Imam Ali al-Rida (w 818), the eighth Imam of Shiite Islam beliefs.
Shari'ati rooted in rural life. It was there as he wrote in his autobiography worldview Shari'ati first formed. He was so proud of his ancestors, who are leading scholars in his time, and they chose solitude in the Kavir desert.
The first teacher was Taqi Shari'ati Shari'ati, his own father, who decided to teach in the city Mashyad, and did not return to his village as tradition leluhurnya.Sang cleric father is different from the traditional clergy. The father has a large library that is always full and the recalled Shari'ati, which is metaphorically described as the spring that continues to illuminate the mind and jiwanya.Di childhood, Shari'ati avid reader in his father's large library. Reading materials, among others, Les Miserables (Victor Hugo), a book on vitamins and translation Hasan Safari cinema history, and the Great Philosophies Ahmad Aramaic translation Syari'atikecil also starting to like philosophy and mysticism since his first year secondary school.
The combination of intellectual figures and activists who jumped directly to the field to defend the injustice of this little form the spirit of an intellectual who is also a revolutionary political activist. And he also, Shariati absorb pandagan about Marx's sociological construction, especially banalisa about social class and truisme (itsar). Shari'ati claimed more influenced Massigmon, George Gurvich, Jean-Paul Sartre, and Franz Fanon. When in France, he realized that Western thought can enlighten as well as enslaving the Iranian student thinking.
Modernization from above and centralization of power made with an iron fist; application of military means that 'requires brutal repression against those who oppose, became the defining features Reza Shah's regime. Modernization and industrialization are run basically oriented countries in Western Europe.
He saw a total westernization process that forms Eropanoid. From this it appears that his ideas became the intellectual map that mimics the Islamic intellectual, and 'true intellectuals' who follow the tradition of the prophets and awaken his people once had a social responsibility and mission. Shari'ati also tried to solve the problems facing Muslims based on Islamic principles. On June 18, Pouran, Shari'ati wife, and their three daughters wanted to catch up to London. But this time the authorities refused to allow Pouran and Mona, 6-year-old son, to leave Iran. But Soosan and Sara, two other children, are allowed. Once they arrived at Heathrow, Shariati pick him up and took them to a house which had been rented in Southampton, England.
But the next morning, June 19, 1977, Shariati was found dead in Southampton, England. The government declared Shari'ati Iaran died from heart disease, but many believe that he was murdered by the Iranian secret police. Her death became a myth "Islamic militants" Its popularity peaked during the Iranian revolution in February 1979. At that time, His picture dominates the streets of Tehran alongside the Ayatollah Khomeini.
ISLAMIC RELIGIOUS EXEMPTION
Understanding Islam Ali offered differ maintreem understanding at that time. Islam is understood many people in the Islamic Shari'ati is only limited to religious rituals and fiqh that do not reach the issues of political and social. Islam is just a set of dogmas to regulate how the worship but not touching at all the most effective way to enforce justice against tyranny or the strategy guide to defending the oppressed (mustad'afîn).Thus Islam was in many lucrative opportunities that the authorities do and spit arbitrary injustice, because he can hide behind dogmas that have been made in such a way as to protect its interests.
Shari'ati argue that Islam is more dynamic than in other religions. Terminology of Islam shows that progressive goals. In the West, the word "politics" comes from the Greek word "policy" (the city), as an administrative unit of the static, but the equivalent of the word Islam is "siyasah", which is harfiyah means "to tame the wild horse seokor,", a process that amengandung meaning a strong struggle to bring up the inherent perfection.Islam, in view of Shari'ati is not a religion that considers only the spiritual and moral aspects or simply to the relationship between servant with The Khaliq (hablu min Allah), but more than that, Islam is an ideology of emancipation and liberation:
"It is necessary to explain what we mean by Islam. With him we mean Abu Zar, not Islamic caliphate. Islamic justice and the proper leadership, not its Islamic rulers, the aristocracy and upper classes. Islamic freedom, progress (progress) and consciousness; not Islam slavery, captivity and passivity. Mujahid of Islam, not Islamic clergy. Islamic virtue and personal responsibility and protest, not Islam that emphasizes dissimulasi (taqiyeh) religious, wasilah clerics and divine intervention. Islamic struggle for faith and scientific knowledge, not Islam the surrender, dogmatic, and uncritical imitation (taqlid) to the cleric. " Furthermore, the image of Islam exemption was reaffirmed by Shari'ati:
"It is not enough by stating we must return to Islam. We must specify what we mean Islam: Islam Abu Zar Ghifari or Islam Marwan bin Hakam (Usman bin Affan in-law), the ruler. Both were referred to Islam, although in fact there are large differences between the two . The other is Islam the caliph's, the palace and the ruler. The other is the Islamic people, they are exploited and the poor. Further, no legitimate enough to simply say that people should have a concern (concern) to the poor and oppressed. corrupt caliph who also said so. Islam is really more than just a concern. Islam is really commanded the believers to fight for justice, equality and the elimination of poverty ".
Ali said Islam as a religion of liberation. Islam, he argues, is not a religion that considers only the spiritual and moral aspects or individual relationship with the Creator, but rather an ideology of emancipation and liberation. Shari'ati also said that a true Islamic society knows no class. Islam became a means for people who are deprived of their right, left, hungry, oppressed, and discriminated against, to liberate themselves from oppression that.
Shari'ati based on the Islamic ideological framework. He understands Islam as a revolutionary force to combat all forms of tyranny, oppression, and injustice towards equality without class. Shari'ati even spark a new formula:''I rebel therefore I am.''. .
Islam Islamic liberation is inherited by Imam Hussein; martyrdom in Karbala became a source of inspiration for those who are oppressed to maintain that authentic Islam. Thus, Islam is so is the beginning of Shi'ite Islam, the revolutionary Shi'ite Islam who personified Abu Zarr al-Ghifari with kepapaannya, and with the martyrdom of Imam Hussein. Both are symbol of eternal struggle against the oppression of despotic rulers. This revolutionary Shi'ite Islam then experience "domestication" in the hands of upper class - the political rulers and the clerics who give legitimacy to the "Islamic" version of the ruler. Ulama, accused Shari'ati using Marxist jargon, have been circumcised and institutionalizing Islam as a "winner" (Pacifier) for the oppressed masses, as a rigid dogma and scriptural texts of the dead. Ulema moved as if in a vacuum, separate from social reality.
According to observations Shari'ati, for 7 centuries until the Safavi dynasty, Shi'ism (Alavi) is a revolutionary movement in history, which opposed the autocratic regime that has the entire class consciousness as Ummayah dynasty, Abbasid, Ghaznawiyah, Seljuq, Mongol, etc. other. With the legitimacy of these regimes scholars create their own version of Sunni Islam. On the other hand, the Red Shi'ism, as a revolutionary group, fighting to liberate the oppressed and the search keadilan.Syari 'ati view clerical regime and institutions, which can be sometimes saddled with outside parties, as a manipulator of Iran's past and architects making tradition into prison.
Iranian shah's regime was not raised religious, but maintain a stagnant empire, while maintaining the stagnation of Islamic clerics. According Shari'ati, what happens in Iran is, that on the one hand, the scholars who become religious leaders during the past two centuries has been transforming into an increasingly stagnant form of religion, while on the other side of the enlightened people who understand the present and needs generation and age, do not understand religion. Finally, Shari'ati said, "true Islam remains unknown and hidden in the recesses of history."
For Shari'ati, true Islam is a revolutionary, a true and Shiites are a special type of revolutionary Islam. But somehow in the course of time has turned into seperangkap Islamic prayers and rituals are not meaningful at all in life. Religion of Islam only to the extent that care how people die, but no matter how anyone can survive in life amid a wave of discrimination, exploitation, and oppression of various despotic rulers. Religion models like this are very popular these rulers to maintain power remain safe, without any interference from people who want to practice the true Islam.
Shari'ati idea about Islam or Islamic revoluioner exemption in line with the notion of liberation theology (theology of liberation), which carried by many revolutionary leaders in both Latin America and Asia. The basic idea of thought between Shari'ati with the bearers of liberation theology is almost the same, namely to break down the reliability of official religious institutions (the clergy, church) whose position is always at the side of power, and turn away from the real fact that his people always oppressed by that power. They were both rebellious and dissatisfied with a set of doctrines that have been created by clerics or church to protect the interests of upper class and oppress the lower class. Islamic revolutionary and liberation theology are both trying to end the domination of the official religious institutions and restore the right to interpret the religion to the people, so that the doctrines which formed the true religion in favor of the interests people.
As once stated by Leonardo Boff, Liberation Theology is a reflection of thought, at once a reflection of the real situation, a pre-existing praxis. More precisely, according to Boff, this is a disclosure or endorsement of a vast social movement, which emerged in the 1960s involving key sectors as religious social systems, such as religious elites, the movement of ordinary people, workers, and group community-based religious group.
Liberation theology is a spiritual product. And it must be admitted, by including in it a religious doctrine that really makes sense, Liberation Theology has provided a huge contribution to the expansion and strengthening of such movements. The doctrine makes sense it has formed a radical shift from traditional teaching is well established as religious. Some of the doctrine are: 1). Claims of moral and social issues very hard against the reliance on capitalism as a system of unjust and oppressive, 2) Use of analytical tools of Marxism in order to understand the causes of poverty, 3) specific choices on the poor and solidarity to the struggle of those demanding freedom, 4 ) A new pembacan against religious text, 5) Resistance against idolatry as the main enemy of religion 6) Criticism of traditional theology teradap double-faced as a result of Greek Platonic philosophy.
In line with the conceptual framework of liberation theology movement that was carried by the revolutionaries in the Catholic religion, Islam or Islamic revolutionary liberation of more or less have the same frame of mind. Liberation theology based on Islamic spiritual awareness and liberation is also based on true Islamic awareness or authentic. Each has a goal to make religion as a means to fight for justice, undermining all despotic and authoritarian system and maintain that no oppression in the face of this earth.
As has been recorded in Islamic history, that the coming of Islam is to change the status quo as well as alleviating the oppressed and exploitation; them this is called a weak community. Communities that some of its members to exploit some of the other members of the weak and oppressed, not referred to as the Islamic community (Islamic society), even though they run the ritual of Islam. The teachings of the Prophet declared that poverty was close to disbelief, and told his people to pray to God to avoid both. Elimination of poverty is a condition begi creation of an Islamic society. In another tradition the Prophet declared, that a country can survive even in it there is disbelief, but can not survive if there is dhulm (oppression).
Unfortunately, as has been digelisahkan by Shari'ati, this revolutionary Islam is the religion soon became thick with the status quo. Islam is loaded with practice of feudalism and the scholars who actually support the establishment was already strong. They write more books about the rules of ritual and spend energy to peel furû'iyah problems in the shari'ah, and totally downplay the elan vital of Islam by creating social justice and concern of Islam that is active against the weak and oppressed groups ( mustad'afîn). They identified themselves as mustakbirîn (the strong and arrogant).
As was mentioned earlier, Shariati "alleged" scholars as a major source of misuse of Islamic teachings that are revolutionary. In the hands of clerics, Islam has become the religion of "the dead" who are helpless against the "greedy people". In the context of Iran, Shiite cleric has changed from revolutionary to conservative ideology trust; became the state religion (din-i dewlati), the most highly stressed attitude of generosity (philanthropism), paternalism, voluntary restraint of luxury. While on the other hand, so Shari'ati describes, scholars have an organic relationship with the luxury of itself through the affluent class.
Because Shiite cleric pemasuka obtained from Khams (alms) from Sahm-i Imam (part of the zakat), they are inevitably linked to the rich, country landowner, and merchant bazaar. In response to those who claim that the Shiite cleric is more independent than the Sunni ulema. Shari'ati argued that it may be true in the period before Safavi, but not thereafter.
Critics of Shari'ati
A fairly scathing critique of the class of scholars Shari'ati make the scholars also write your backlash. Muthahari, one of the leading scholars alone, looking Shari'ati already manipulate Islam for political purposes and social implications. Furthermore Muthahari rate, political activism protest Shari'ati generate political pressure is difficult to bear by a religious institution like Hussainiyeh Ersyad of the shah's regime.
And indeed, after Shari'ati many scholars criticize institutions and regimes, Hussainiyeh Ersyad finally forcibly closed by the security forces. Besides Motahhari, many scholars sources patrons (Marja 'taqlid) such as Ayatollah Khû'i, Milani, spiritual, and Tabataba'i which also condemned the critical voices Shari'ati. They even issued a fatwa that forbids buying, selling, and read the writings Shari'ati.
After Shari'ati criticize scholars who judged as Akhund, Shariati then deliver a typical religious ideal. According to him, religious ideal, simply, is a scholar activist, who mobilize the masses to do the protest movement. So in this case, he makes his own father and Ayatollah Mohammed Baqir Sadr (executed by the government of the Islamic Republic of Iran in 1979) or activists of Sunni thinkers such as al-Afghani as his idol. Khomaeni certainly fit the framework Shari'ati about the clergy. But Shari'ati never expressed his feelings openly about Khomaeni. The information provided does not appear to indicate that Shari'ati recognize Khomaeni as a great leader.
REFERENCES
The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, Esposito: 2001, 294
Ekky Malaky, Ali; philosopher, Ethics and the Architect of Modern Iran. (TERAJU; Jakarta, 2004)
Ali Rahnema, "Ali: Intellectual Revolutionary Political Biography (New York: Erland, 2002)
Azyumardi Azra, Islam's Political upheaval; From Fundamentalism, Modernism Up to Post-Modernism (New York: Paramadina, 1996)
Muhammad Nafis, "From Prison Ego grip Hunting Revolution: Understanding the" crisis "People Rebel", in M. Deden Ridwan (ed.), Against Western Hegemony: Intellectuals Spotlight Ali in Indonesia (Jakarta: Lantern Publishers, 1999)
Ali, The Ideology of Intellectuals: An Islamic Insights, Mizan, Bandung, 1985)
Robert D. Lee, "Ali Shari'ati", in the Search for Authentic Islam: From the Poetic Reason Iqbal, Up Arkoun Critical Reason, trans. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)
Michael Lowy, Liberation Theology (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Wahono Nitiprawiro, Theology of Liberation: History, Methods, Praxis, and the contents (Yogyakarta: LKIS, 2000)
Asghar Ali Engineer, Islam and the Theology of Liberation, trans. Great Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet. III
Posted by Cecelia Sopandi, May 9, 1986
at 00:47
http://ismail-asso.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar