SELURUH RAKYAT PAPUA HARUS BERSATU MENYONGSONG INI

  • 5

09 November 2007

PLURALISME RELIGIUS

Catatan:

Koreksi Untuk Ismail Asso, atas artikelnya;
" Islam Mendukung Papua Merdeka?"

Oleh : Amanah Asso dari Hitigima, Wamena Papua

Dalam artikel di websitus Komunitas Papua, Saudara
Ismail Asso, mendramasitir sedemikian rupa sehingga
Islam dan Muslim sebegitu berbeda. Tulisan ini
mencoba menelusuri kebenaran dan menguji argumentasi
artikel dimaksud dengan asumsi kebenaran argumentasi
manusia selamanya bersifat subyektif. Tuduhan dari
aspek Iman secara ilmiah betapapun memenuhi
kualifikasi akademis akhirnya juga pragmatisme
karena potensial biased of interest communalistic,
maka dengan sendirinya absurd belaka.

Relativitas Persepsi Manusia

Secara filosofis, para ahli ilmu sosial sepakat,
bahwa 'agama memiliki nilai kebenaran bersifat
universal dan tidak dibatasi oleh sekat-sekat
primordialisme.' Misalnya; Batas teritorial,
geogerafis, bahasa, dan antropologis, (ras atau
suku bangsa). Oleh sebab itu agama apapun dan
dimanapun, siapapun (baca, tanpa dimensi lokaliaras
relatif), dapat menerima akan kebenaran ajaran
agama. Tidak terkecuali kita di Papua dewasa ini.

Namun pada tataran aktualisasi, dalam dimensi sosial
dan budaya kontemporer, kontekstualisasinya menjadi
berbeda sesuai dengan rumusan filsafat; yang
mempengaruhinya yaitu oleh faktor relatifitas
katogoris berdasarkan asumsi-asumsi yang
mendasarinya atau dengan ungkapan lain, nilai
lokalitas manusia dipengaruhi oleh dimensi waktu dan
tempat, sehingga berimplikasi multi re-interpretasi
yang saling berbeda pula.

Maka konsekukensi konsepsi demikian konklusinya
jelas bahwa: Para penganut (umat) yang taat
mengimani nilai dogma (kepercayaan) yang diajarkan
dan dibawakan oleh semua agama (apapun), dengan pola
hidup dan pola ketaatan tertentu sesuai ritualisme
iman (dogma) agama, yang dianutnya itu seperti
konsep ajaran yang sudah ditetapkan cara-caranya,
dari para pembawa ajaran, sebagai Nabi atau Rasul.

Umumnya Agama mengandung nilai-nilai dogma yang
bersifat transendental yakni "konsepsi manusia yang
terus melampaui keluar jauh dari existensinya dari
dekat disini menuju yang jauh sana", dan memiliki
konsep eskatologi, yaitu suatu pemahaman yang
mengajarkan akan kejelasan makna hidup alam dunia
yang fana ini dan kelak sesudah kematian dialam
akherat nanti.

Konsepsi demikian umumnya dimiliki dan diwakili
oleh agama semitisme yaitu Yahudi, Kristen dan Islam
yang biasa dikonstantir oleh para ahli seperti Max
Weber (Ahli Filsafat dan Sosiologi Agama dari
Jerman), sebagai: Abramic religion, karena tiga
agama besar dunia ini bersumber dari Nabi Ibrahim
AS, (Abraham), -ini berarti umumnya agama anutan
bangsa kita, Papua Barat saat ini.


Inklusivisme Beragama


Konsekuensi agama yang demikian penting, menjadi
kesadaran kita, untuk tetap menjaga kontinuitas
inklusivisme beragama yang bersumberkan pada satu
nenek moyang, ( atau monotheisme). Kebersatuan nenek
moyang asal agama pada masa kekinian dan disini
(baca, kontemporer). Serta tetap dan terus
menimalisir potensi-potensi perbedaan dengan
mengedepankan sikap toleransi yaitu sebagai sikap
keberagamaan inklusif (terbuka).

Dan untuk kita Papua dengan landasan atau paradigma
iklusivisme (keterbukaan sikap beragama) ini dapat
terakomodasi dalam lembaga, "Dewan Masyarakat Adat
Papua (DMAP), Majelis Rakyat Papua (MRP)", sebagai
lembaga "reinkarnasi" atau pengejawantahan kurtural
rakyat Papua pada masa lalu, kini dan akan datang
menjadi kebutuhan primer.

MRP atau Lembaga Adat sebagai mediator, fasilitator, stabilisator dan
dinamisator tetap menjaga existensi dinamika atau
pluralisme nilai religiusitas rakyat maupun aspek
sosiokultural yang kita miliki kini. Dan perannya
sejak dulu sebelum agama-agama besar dunia datang
masuk ke papua, harapannya, tetap mengawal agar
jangan sampai ada sikap-sikap keberagamaan yang
ekslusif (tertutup), yang berorientasi intoleransi
pada kelompak kepercayaan agama lain di luar anutan
kita. Agar harmonisasi hubungan antar pemeluk umat
beragama tetap terjalin komunikasi yang dimanis dan
mencair tapi juga intens, dalam naungan Papua yang
kita cintai bersama.

Mengingat banyak bukti bahwa para peninjau asing
sebagaimana di laporkan oleh banyak pihak bahwa
agama bagi orang Papua adalah hanya sebatas sarana
untuk mereka mencapai tujuan yang lain. Kalau
begitu dampaknya jelas destruktif dan ini berarti
konflik horisontal tidak dapat terhindari lagi jika
dibiarkan, apalagi tingkat pendidikan masyarakat
papua yang umumnya terbelakang akibat penjajahan
yang tanpa disadari oleh kita. Upaya bodohisasi
Indonesia dan para kolonial lain telah melahirkan
akibat lain juga.

Upaya bodohisasi (atau, pembodohan) terus berlangsung telah lama --secara
sistematis sampai akhir-akhir ini, (tahun 1999 di
berlakukan UU OTSUS) --sejak daerah ini di infasi
oleh Soekarno tahun 1963 silam, ditambah
relativitas kemampuan manusia sangat potensial
berbeda sesuai relativitas tempat dan waktu.

Teologi Pembebasan

Suatu doktrin, apapun doktrin itu, sesuai eksistensi
hidup manusia didunia dan kebutuhan akan kelansungan
hidup manusia sebagai makhluk sosial tidak selalu
dan selamanya dapat sejalan, kecuali sesuai dengan
kapasitas dan kualitas interpretasi pemahamannya,
yang relatif dan mutlak manusiawi untuk berbeda
(baca, mispersepsion dan berdampak
misunderstanding). Itu berarti, hanya sebatas
kebutuhan akan rasa kenyamanan dan keamanan, bagi
survival entitasnya, maka dengan sendirinya kita
terjebak pada pragmatisme.

Reintrepretasi teks-teks suci, (Kitab Suci), oleh
manusia berdampak relativitas pemahaman agama yang
cenderung pragmatis tapi juga fragmentaris sesuai
dengan kubutuhan akan survival eksistensinya dalam
komunitas plural.

Karena itu agama sesungguhnya
adalah juga potensi membebaskan manusia dari
keterpurukan akan diskriminasi dalam hegemoni
mayoritas umat. Karena itu harus difahami, agama
oleh manusia dalam implementasinya disesuaikan
kelangsungan hidupnya dan kebutuhan yang dibatasi
oleh lokalitas tempat dan lokalitas waktu belaka.
Maka disini perbedaaan interpretasi subyektifisme
sulit dihindari dari dogma agama dan adalah natural
belaka.

Disini manipulasi ajaran agama oleh umat manusia
dimanapun dan kapanpun potensial dapat terjadi,
walau betapapun diyakininya sebagai yang benar,
tetapi pengamatan dari "luar" dari agama lain dia
dapat terlihat kontras akan kesalahan ini apalagi
perspektif kebenaran universal.

Karena itu rumusan bahwa manusia tidak ada yang
benar kecuali kebenaran itu sendiri. Maka kita wajib
dan harus menghayati nilai bahwa kebenaran yang
kita yakini sebagai yang benar itu tidak boleh
menghalangi orang lain juga benar. Maka ini berarti
kita tidak boleh harus kemudian bersikap skeptis
terhadap sesuatu yang bernilai dogma itu.

Tetapi yang benar adalah kita membangun suatu
rumusan filosofis atas potensi kebenaran orang lain
berdasarkan potsulasi atau asumsi-asumsi, sehingga
memberikan kesempatan kepada orang lain ragu atas
kebenaran subyektif lain.

Atheisme Arbert Camus, berangkat dari skeptisme yang
melihat umat manusia saling membunuh atas nama
kebenara (truth cliem), maka terkenal ucapannya yang
akhirnya ia sendiri bunuh diri yaitu; "Yang lalu
tidak lagi ada, yang akan datang belum lagi ada,
kinipun tidaklah memuaskan".

Agama manusia betapapun kepalsuannya dari pandangan
subyektif lain, spritualitas adalah penting karena
menjajikan harapan hidup. Tanpa ini adalah suatu
nihilisme kebenaran yang berdampak skeptisme, namun
bukan fatalisme yang terjebak pada mesianisme yang
tanpa ujung pangkal yang berarti juga bertentangan
dengan pendirian filsafat Frederich Nietche yakni
terciptanya mentalitas budak.

Sikap humanisme yang atheistik bukan harapan kita,
namun inklusifime yang leberal dengan menyadari
pluralitas masyarakat sebagai hukum sosial yang
dapat menjembatani kita berbeda pendapat dan berbeda
menerjemahkan agama sesuai lokalitas tempat
perkembangan situasi sosial yang melingkupinya.

Adalah suatu keniscayaan sesuai dengan dogma agama
Islam yang mengajarkan bahwa sang pemilik hakekat
dari alam raya adalah Tuhan semesta alam, artinya
manusia pada hakekatnya hidup didunia ini sifatnya
hanya sementara untuk mengabdi sang pemilik
kehidupana abadi yakni: Tuhan yang Maha Esa.

Maka tidak heran pula ritualitas para sufi
dikalangan Muslim dahulu seperti Al-Hallaj, Abu
Yazid Al-Busthomi, Rabiahtul Al-Adawiyyah, Imam
Ghozali, Syekh Jalaluddin Arrumi, Asyibli dan syekh
Abdul Qodir Al-Jilani dll. Adalah para ulama yang
atas re-intrepretasi atas ayat Al-Qur'an dan
Al-Hadits atau Sunnah Rosul yang mencoba menghindari
kehidupan mewah para Sultan Zaman keemasan Islam
abad 15 di masa lalu terlepas dari bentuk protes
sosial mereka menunjukkan hal ini.

Bahkan Al-Hallaj, Sang Martir sufi, mati ditiang
gantungan atas prinsipnya itu sebagai Yesus Muslim.
Bagi mereka kehidupan dunia ini adalah tempat
persinggahan sementara, dan karena itu kehidupan
dunia ini adalah ibarat terminal atau stasiun untuk
menuju kehidupan abadi yakni bersatu dengan "Sang
Kekasih Abadi", Tuhan. Nampaknya praktek ritualisme
para ulama Islam ini secara konseptual banyak
terinspirasi atau lebih tepat konversi dari
ajaran-ajaran Kristen-Yesus Kristus. Terlepas hasil
rekayasa ritualisme para rahib kristen abad tengah
di Eropa, sebagaimana tuduhan para ahli Syari'ah
Islam, Namun ini terbukti, setidaknya banyak
persamaan antara kedua praktek ibadah demikian.

Oleh sebab itu sebahagian para rahib dari kalangan
agama Katolik yang memilih hidup asketisme dengan
cara hidup tertentu seperti tidak kawin umumnya para
uskup dan suster.

Praktek ini adalah ajaran asketisme yang menjauhkan
kehidupan mewah yang materialistik, dan ini adalah
praktek spritualisme yang integral dalam institusi
kerahiban Katolik dewasa ini. Praktek ini bagian
dari penyembahan dan pengabdian total pada Sang
Kholik (baca, Tuhan), sebagai menjalankan doktrin
ini. Namun pada akhirnya reformasi total atas
intrepretasi teks Kitab suci (baca, Alkitab), baru
dilakukan di Jerman oleh Marthen Luther yang umum
kita kenal sekarang menjadi agama Kristen Protestan.

Amanah Asso, dari Wesapot, Hetigima.

Tidak ada komentar: